(Laporan Praktikum Biologi dan Kesuburan Tanah)
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebelum era 1960-an,
petani Indonesia menerapkan Pertanian Organik yang murni. Salah satunya dengan
memanfaatkan kohe (kotoran hewan) sapi, kambing, residu panen yang semuanya
dikomposkan dengan teknik sederhana. Cara ini cukup efektif di dalam mempertahankan
kesubura tanah dan tanaman pada waktu itu. Namun hasil panen tidak mengalami
peningkatan yang signifikan.
Di era 1960-an,
petani Indonesia mulai mengenal pupuk kimia sintetis. Presiden di waktu itu,
(alm) Ir. Soekarno menggratiskan biaya pupuk kimia ini, sehingga petani
berbondong-bondong
menggunakannya. Dosis yang awalnya hanya 40-70 kg/ha, lama kelamaan sampai sekarang menjadi 200-300 kg/ha. Salah satu penyebabnya, petani berpikir bahwa pemberian pupuk kimia yang semakin banyak makin meningkatkan hasil panen. Selain itu, petani menganggap pupuk kimia dapat menggantikan kedudukan pupuk organik. Pada awalnya pernyataan itu benar, hasil panen dapat meningkat lebih dari dua kali lipat. Namun seiring berjalannya waktu, justru terjadi penurunan drastis hasil panen.
menggunakannya. Dosis yang awalnya hanya 40-70 kg/ha, lama kelamaan sampai sekarang menjadi 200-300 kg/ha. Salah satu penyebabnya, petani berpikir bahwa pemberian pupuk kimia yang semakin banyak makin meningkatkan hasil panen. Selain itu, petani menganggap pupuk kimia dapat menggantikan kedudukan pupuk organik. Pada awalnya pernyataan itu benar, hasil panen dapat meningkat lebih dari dua kali lipat. Namun seiring berjalannya waktu, justru terjadi penurunan drastis hasil panen.
Namun, dewasa ini
petani mulai sadar dengan kekurangan yang dimiliki pupuk kimia. Petani mulai
kembali mempergunakan pupuk organik dan menurunkan dosis pemakaian pupuk kimia.
Para petani biasanya melakukan pengomposan dari brangkasan tanaman seperti
jerami padi di tengah-tengah lahan mereka. Teknik pengomposan yang sering dipakai
adalah teknik pengomposan areobik karena tidak sulit dan cepat matang.
Pengomposan aerobik
berjalan dengan kondisi terbuka. Dalam hal ini udara bebas bersentuhan langsung
dengan bahan kompos. Ciri khas teknik ini adalah pengontrolan yang intensif/terus-menerus.
Mulai dari pengontrolan kadar air, suhu, pH, kelembaban, ukuran bahan, volume
tumpukan bahan, dan pemilihan bahan. Hasil akhir pengomposan aerobik berupa
bahan yang menyerupai tanah berwarna hitam kecoklatan, remah, gembur dan amorf.
Di dalam praktikum
ini, mahasiswa akan melaksanakan kegiatan pengomposan aerobik dengan bahan
dasar kompos, yaitu : jerami padi, kohe sapi, dengan dekomposer EM4.
B.
Tujuan
Adapun, tujuan dalam
praktikum ini, diantaranya :
1.
Untuk mengetahui teknik
pengomposan secara aerobik.
2.
Untuk mengetahui proses-proses
yang terjadi selama pengomposan aerobik.
3.
Untuk mengetahui perbedaan kondisi
awal dan akhir dari kompos.
4.
Untuk mengetahui ciri-ciri kompos
yang matang.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
Penggunaan pupuk kimia yang terus menerus telah
mengakibatkan dampak negatif bagi tanah dan lingkungan. Dampak negatif yang
timbul merusak struktur (fisik) tanah dan lingkungan karena tanah menjadi keras
pada musim kering dan lengket pada musim hujan dengan porositas tanah menurun.
Pupuk anorganik tidak mempunyai sifat yang dapat memperbaiki sifat dan fungsi
fisik tanah serta
fungsi biologi tanah
secara langsung (Hong, 1991; Karama et al., 1991 dalam Sajimin, 2011 dkk ).
Pemberian bahan
organik dapat meningkatkan kandungan P tersedia dalam tanah secara langsung dan
tidak langsung. Penambahan P secara tidak langsung terjadi karena pada proses
dekomposisi bahan organik dihasilkan asam-asam organik yang mampu menonaktifkan
anion-anion pengikat fosfat, yaitu Al dan Fe, dan membentuk senyawa logam
organik (Sukristiyonubowo et al, 1993 dalam Djazuli & Pitono, 2009).
Pupuk organik adalah nama kolektif untuk semua jenis bahan
organik asal tanaman dan hewan yang dapat dirombak menjadi hara tersedia bagi
tanaman. Dalam Permentan No.2/Pert/Hk.060/2/2006, tentang pupuk organik dan
pembenah tanah, dikemukakan bahwa pupuk organik adalah pupuk yang sebagian
besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik yang berasal dari tanaman dan
atau hewan yang telah melalui proses rekayasa, dapat berbentuk padat atau cair
yang digunakan mensuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia,
dan biologi tanah. Sumber bahan organik dapat berupa kompos, pupuk hijau, pupuk
kandang, sisa panen (jerami, brangkasan, tongkol jagung, bagas tebu, dan
sabut kelapa), limbah ternak, limbah industri yang
menggunakan bahan
pertanian, dan limbah
kota. (Suriadikarta dan Simanungkalit, 2006).
Salah satu
cara pengomposan yang sederhana adalah proses pengomposan aerob, cara ini
paling mudah dilakukan dan hasilnya relatif memuaskan. Sebenarnya proses
pengomposan aerobik sampah kota ini, dapat diterapkan dalam skala kecil. Yaitu
sampah yang telah diambil dari rumah tangga yang telah dipisahkan dari sampah
anorganik ditumpuk disuatu tempat dengan ketinggian tidak lebih dari 1,5 m, kemudian
tumpukan sampah ini diusahakan jangan terjadi pemadatan untuk menjamin pasokan
aliran udara (aerasi) di antara
celah-celah antar sampah. Setelah itu aktifitas biologi (mikrobia) mulai
berjalan untuk mulai proses perombakan sampah organik. Proses perombakan
aerobik ini berlangsung
kurang lebih dalam 45 hari (Atmojo, 2007)
Setiap organisme pendegradasi bahan organik membutuhkan
kondisi lingkungan dan bahan yang berbeda-beda. Apabila kondisinya kurang
sesuai atau tidak sesuai, maka organisme tersebut akan dorman, pindah ke tempat
lain, atau bahkan mati. Menciptakan kondisi yang optimum untuk proses
pengomposan sangat menentukan keberhasilan proses pengomposan itu sendiri.
Faktor-faktor yang memperngaruhi proses pengomposan antara lain:
1. Rasio C/N
2. Ukuran partikel
3. Aerasi
4. Porositas
5. Kandungan air
6. Suhu
7. pH
8. Kandungan hara
9. Kandungan bahan-bahan berbahaya (Isroi, 2010).
III.
METODOLOGI PERCOBAAN
A.
Alat dan Bahan
Alat-alat yang
digunakan dalam praktikum ini, antara lain : kantong plastik hitam, golok,
gunting, dan ember.
Sedangkan bahan-bahan
yang digunakan antara lain : jerami 4 kg, kotoran sapi, 4 kg, larutan EM4
, air gula ½ liter, dan air 10 liter.
B.
Cara Kerja
Adapun cara kerja
dalam praktikum ini, diantaranya :
1.
Dicacah jerami padi hingga kecil
(2 cm) menggunakan golok atau gunting.
2.
Dikeringkan kotoran sapi
3.
Ditebar plastik hitam sebagai alas
pengomposan.
4.
Diletakkan jerami padi yang
terpotong diatas alas plastik.
5.
Ditambah dengan kotoran sapi
diatasnya.
6.
Disiram dengan 10 ml EM4 + ½ liter
air gula + 10 liter.
7.
Dibuat 5 tumpukan.
8.
Ditutup dengan plastik hitam.
9.
Diamati setiap 3 hari sekali
selama 1 bulan.
10.
Dibalik kompos apabila suhu
terlalu tinggi (> 500C).
11.
Setelah 1 bulan, diukur kadar
airnya dengan menimbang bobot segar 100 gram dibandingkan dengan bobot kering
setelah pengovenan yang dinyaakan dalam persen.
IV.
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil Pengamatan
Hasil pengamatan dalam praktikum ini disajikan dalam tabel
sebagai berikut :
Tabel 1. Data Pengamatan Kompos Jerami dari 21 September-18
Oktober 2012.
Perhitungan :
Diketahui: Bobot
kompos basah 100 gram, setelah dioven selama 24 jam dengan suhu 105°C, kompos
kembali ditimbang dan bobot kompos mengalami penyusutan yaitu menjadi 29,40 gram.
Kadar air ( % ) =
(Bobot basah-Bobot kering)/(Bobot kering) x 100 %
=(100 gram-29,40 gram)/(29,40 gram) x 100 %
=(70,6 gram)/(29,40 gram) x 100 %
= 2,4x 100 %
=240%
4.2
Pembahasan
Pengamatan kompos
jerami dilakukan dari tanggal 21 September-18 Oktober 2012, lebih kurang 1
bulan. Jika dilihat dari perubahan warna, hal ini terjadi pada hari ketiga
pengomposan yang dimulai dari perubahan menjadi cokelat, lalu cokelat
kehitaman, dan akhirnya kehitaman. Perubahan warna yang cepat menandakan proses
pengomposan berjalan baik dengan kadar BO (Bahan Organik) yang tinggi. Jika
dirasakan bau yang ditimbulkan, awal awal proses dekomposisi timbul bau tidak
sedap yang lama-kelamaan akan hilang seiring matangnya kompos.
Pada pengamatan suhu,
terdapat kekurangan dalam kepekaan merasakan suhu menggunakan telapak tangan. Karena
dari pengamatan 1 (21 September 2012) hingga pengamatan 9 (15 Oktober 2012)
suhu masih relatif stabil/normal. Seharusnya pada 24 jam pertama suhu akan
meningkat antara 250-650 C yang bertahan selama 2-4 hari.
Peningkatan suhu ini akibat adanya aktivitas mikroorganisme dalam menguraikan
bahan organik. Bila penguapan terlalu tinggi akibat peningkatan suhu yang
tinggi, maka bahan kompos akan cepat kering. Untu itu perlu pemberian air untuk
dapat mempertahankan kadar air supaya mikrobia dapat terus beraktivitas di
dalam penguraian.
Menurut Yuwono (2005) tanda-tanda bahan sudah menjadi
kompos antara lain :
1.
Bahan menyerupai tanah berwarna
cokelat tua kehitaman.
2.
Suhu bahan tidak dapat naik lagi
atau suhu cenderung turun dan menjadi stabil kurang dari 450 C
selama berhari-hari.
3.
Terjadi penyusutan berat hingga
mencapai 50 % dari berat awal.
Beberapa faktor yang
mempengaruhi kecepatan kompos dijelaskan dibawah ini :
1.
Rasio C/N : adalah perbandingan kadar C dan
kadar N dalam suatu bahan. Semua makhluk hidup terbuat dari sejumlah besar
bahan C serta N dalam jumlah kecil. Pembuatan kompos aerobik optimal
membutuhkan C/N 25:1 sampai 30:1. Jerami padi memiliki C/N 50:1 hingga 70:1 dan
C/N kotoran sapi 20:1.
2.
Volume Bahan : sangat menentukan kecepatan
proses terbentuknya kompos. Volume tumpukan yang ideal minimal 1m x 1m x 1m
atau maksimal 2m x 2m x 2m.
3.
Ukuran Bahan : semakin kecil ukuran bahan,
proses pengomposan akan lebih cepat dan lebih baik karena mikroorganisme lebih
mudah beraktivitas mengolah dan membentuk koloni pada bahan yang sudah lembut.
Ukuran bahan yang dianjurkan pada pengomposan aerobik berkisar antara 1-7,5 cm.
4.
Kadar Air Bahan : yang dianjurkan dalam
pengomposan aerobik adalah 40 % sampai 50 %. Kondisi ini harus dijaga agar
mikroorganisme aerobik dalam kompos dapat bekerja dengan baik dan tidak mati.
5.
Temperatur : suhu ideal untuk pengomposan
aerobik adalah 450-650 C. Suhu kompos dijaga agar tetap
stabil dengan cara mengatur kadar air.
6.
Derajat Keasaman : pH yang terbaik untuk
proses pengomposan aerobik dan anaerobik dikondisikan agar tiap bagian mendapat
suplai udara cukup.
V.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat
ditarik dalam praktikum ini, antara lain :
1.
Pembuatan kompos jerami aerobik
memerlukan pengamatan rutin agar menghasilkan kematangn kompos yang baik.
2.
Perubahan fisik seperti warna,
bau, dan bentuk merupakan indikator paling mudah dalam mengamati proses
pengomposan.
3.
Pengaturan suhu kompos dengan
pembalikan membantu mikrobia untuk terus dapat menguraikan bahan organik.
4.
Pengoptimalan faktor-faktor yang
mempengaruhi pengomposan akan berpengaruh terhadap kecepatan terbentuknya
kompos.
5.
Ciri dari kompos yang siap
digunakan antara lain : warna kehitaman, suhu normal, penyusutan bobot hingga
50 %.
DAFTAR PUSTAKA
Atmojo, Sutoro Wongso.2007. Mencari Sumber Pupuk Organik. (Solo Pos, 28
Maret
2007).
Djazuli, Muhammad & Pitono Joko.2009. Pengaruh Jenis dan Taraf Pupuk
Organik Terhadap Produksi dan
Mutu Purwoceng. JURNAL LITTRI VOL. 15 NO. 1, MARET
2009 : 40 – 45 Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Jl. Tentara Pelajar
No. 3, Bogor 16111
Isroi, 2010.Pengomposan
Limbah Padat Organik.diakses melalui
www.isroi@ipard.com pukul 19:00 tanggal 1
Desember 2012.
Sajimin, dkk.2012. Potensi
Kotoran Kelinci Sebagai Pupuk Organik
Dan Pemanfaatannya Pada
Tanaman Pakan Dan Sayuran. Lokakarya Nasional Potensi
dan Peluang Pengembangan Usaha Agribisnis Kelinci Balai Penelitian Ternak, PO
Box 221, Bogor 16002.
Suriadikarta dan Simanungkalit.2006.Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai
Besar
Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
2006.
Yuwono, Dipo.2005.Kompos.Penebar Swadaya : Jakarta.
0 komentar:
Post a Comment
Terima kasih atas kujungan anda. Komentar anda akan sangat bermanfaat untuk kemajuan blog ini.