Oleh: Abdurachman Adimihardja; Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian, Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123,
Pengembangan Inovasi Pertanian 1(2), 2008: 105-124
(Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset yang disampaikan pada
tanggal 19 Desember 2007 di Bogor.
PENDAHULUAN
Salah satu bagian penting dari budi daya pertanian yang sering terabaikan
oleh para praktisi pertanian di Indonesia adalah konservasi tanah. Hal ini
terjadi antara lain karena dampak degradasi tanah tidak selalu segera terlihat
di lapangan, atau tidak secara drastis menurunkan hasil panen. Dampak erosi
tanah dan pencemaran agrokimia, misalnya, tidak segera dapat dilihat seperti
halnya dampak tanah longsor atau banjir badang. Padahal tanpa tindakan
konservasi tanah yang efektif, produktivitas lahan yang tinggi dan usaha
pertanian sulit terjamin keberlanjutannya.
Praktek pertanian yang buruk ini tidak hanya ditemui di Indonesia, tetapi
juga di negara-negara berkembang lainnya. Hal ini tercermin dari pernyataan
Lord John Boyd Orr (1948), Dirjen FAO pertama, dalam (Dudal 1980) sebagai
berikut: “If the soil on which all agriculture and all human life depends is
wasted away, then the battle to free mankind from want cannot be won”.
Pernyataan tersebut menegaskan pentingnya konservasi tanah untuk memenangkan
perjuangan kemanusiaan dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia.
Sebagai gambaran yang mengkhawatirkan di Indonesia, khusus di Pulau Jawa
saja, kerugian akibat erosi tanah mencapai US$341-406 juta/tahun (Margrath dan Arens 1989). Data lain menunjukkan bahwa selama periode 1998-2004, terjadi
402 kali banjir dan 294 kali longsor di Indonesia, yang mengakibatkan kerugian materi
sebagai tangible product senilai Rp668 miliar (Kartodihardjo 2006). Nilai
intangible products yang hilang sulit dikuantifikasi, baik dalam aspek
ekologis, lingkungan maupun sosial dan budaya, sebagai bagian dari multifungsi
pertanian. Namun dapat dipastikan bahwa nilai intangible tersebut sangat besar,
baik secara material maupun immaterial.
Tingkat laju erosi tanah pada lahan pertanian berlereng antara 3-15% di
Indonesia tergolong tinggi, yaitu berkisar antara 97,5-423,6 t/ha/tahun.
Padahal,
banyak lahan pertanian yang berlereng lebih dari 15%, bahkan lebih dari
100%, sehingga laju erosi dipastikan sangat tinggi. Hal ini terjadi terutama
karena curah
hujan yang tinggi dan kelalaian pengguna lahan dalam menerapkan
kaidah-kaidah konservasi tanah dan air.
Pemerintah melalui Departemen Pertanian terus mengupayakan peningkatan produksi pertanian
nasional khususnya bahan pangan dengan melaksanakan dua
program utama, yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Kedua
program yang untuk mensukseskannya tidak mudah dan memerlukan biaya besar ini,
pada implementasi di lapangan tidak selalu disertai penerapan tindakan
konservasi tanah, yang sebenarnya sangat penting untuk menjamin
keberlanjutannya.
Peran dan kebijakan pemerintah sangat penting dan menentukan keberhasilan
upaya konservasi tanah, guna mewujudkan pembangunan pertanian berkelanjutan,
yang dicirikan dengan tingkat produktivitas tinggi dan penerapan kaidah-kaidah
konservasi tanah. Upaya konservasi tidak akan berhasil apabila dipercayakan
hanya kepada pengguna lahan, karena terkendala oleh berbagai keterbatasan,
terutama lemahnya modal kerja.
Mengingat makin luas dan cepatnya laju degradasi tanah, dan masih lemahnya
implementasi konservasi tanah di Indonesia, maka perlu segera dilakukan upaya
terobosan yang efektif untuk menyelamatkan lahan-lahan pertanian. Upaya
konservasi tanah harus mengarah kepada terciptanya sistem pertanian
berkelanjutan yang didukung oleh teknologi dan kelembagaan serta mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan melestarikan sumber daya lahan dan
lingkungan. Upaya ini selaras dan mendukung Revitalisasi Pertanian, Perikanan,
dan Kehutanan (RPPK), yang salah satu sasaran utamanya adalah optimalisasi dan
pelestarian lahan.
DEGRADASI TANAH
DI INDONESIA
Degradasi tanah di Indonesia yang paling dominan adalah erosi. Proses ini
telah berlangsung lama dan mengakibatkan kerusakan pada lahan-lahan pertanian.
Jenis degradasi yang lain adalah pencemaran kimiawi, kebakaran hutan, aktivitas
penambangan dan industri, serta dalam arti luas termasuk juga konversi lahan
pertanian ke nonpertanian.
Jenis-jenis Degradasi Tanah
Erosi Tanah
Hasil penelitian mengindikasikan laju erosi tanah di Indonesia cukup tinggi
dan telah berlangsung sejak awal abad ke-20 dan masih berlanjut hingga kini.
Beberapa data dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Sedimentasi di DAS Cilutung, Jawa Barat, memperlihatkan kenaikan laju
erosi tanah dari 0,9 mm/tahun pada 1911/1912 menjadi 1,9 mm/tahun pada
1934/1935, dan naik lagi menjadi 5 mm/ tahun pada 1970-an (Soemarwoto 1974).
b. Laju erosi di DAS Cimanuk, Jawa Barat, mencapai 5,2 mm/tahun, mencakup
areal 332 ribu ha (Partosedono 1977).
c. Pada tanah Ultisols di Citayam, Jawa Barat yang berlereng 14 % dan
ditanami tanaman pangan semusim, laju erosi mencapai 25 mm/tahun (Suwardjo
1981).
d. Di Putat, Jawa Tengah, laju erosi mencapai 15 mm/tahun, dan di Punung,
Jawa Timur, sekitar 14 mm/tahun. Keduanya pada tanah Alfisols berlereng 9-10 %
yang ditanami tanaman pangan semusim (Abdurachman et al. 1985).
e. Di Pekalongan, Lampung, laju erosi tanah mencapai 3 mm/tahun pada tanah
Ultisols berlereng 3,5 % yang ditanami tanaman pangan semusim. Pada tanah
Ultisols berlereng 14 % di Baturaja, laju erosi mencapai 4,6 mm/tahun
(Abdurachman et al. 1985).
Data di atas mengindikasikan bahwa sekitar 40-250 m3 atau 35-220 ton
tanah/ha lahan tererosi setiap tahun, dengan laju peningkatan 7-14% atau 3-28
ton tanah/ ha/tahun, dibanding di Amerika Serikat yang hanya 0,7 ton/ha/tahun.
Data menunjukkan bahwa luas lahan kritis di Indonesia terus meningkat, yang
diperkirakan telah mencapai 10,9 juta ha. Bahkan Departemen Kehutanan
mengidentifikasi luas lahan kritis mencapai 13,2 juta ha. Penyebab utamanya
adalah erosi dan longsor.
Pencemaran Tanah dan Kebakaran Hutan
Selain terdegradasi oleh erosi, lahan pertanian juga mengalami penurunan
kualitas akibat penggunaan bahan agrokimia, yang meninggalkan residu zat kimia
dalam tanah atau pada bagian tanaman seperti buah, daun, dan umbi. Hasil
penelitian menunjukkan adanya residu insektisida pada beras dan tanah sawah di
Jawa, seperti organofosfat, organoklorin, dan karbamat (Ardiwinata et al. 1999;
Harsanti et al., 1999; Jatmiko et al. 1999). Pencemaran tanah juga terjadi di
daerah pertambangan, seperti pertambangan emas liar di Pongkor, Bogor, yang
menyebabkan pencemaran air raksa (Hg) dengan kadar 1,27-6,73 ppm sampai jarak
7-10 km dari lokasi pertambangan. Pencemaran tanah juga ditemukan di kawasan
industri, seperti industri tekstil, kertas, baterai, dan cat. Bahan-bahan kimia
yang sering menimbulkan pencemaran tanah antara lain adalah Na, NH4, SO4, Fe,
Al, Mn, Co, dan Ni (Tim Peneliti Baku Mutu Tanah 2000).
Proses degradasi tanah sebagai akibat kebakaran hutan terjadi setiap tahun,
terutama di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua. Menurut Bakornas-PB
dalam Kartodihardjo (2006), pada tahun 1998-2004 di Indonesia terjadi 193 kali
kebakaran hutan, yang mengakibatkan 44 orang meninggal dan kerugian harta-benda
senilai Rp647 miliar.
Menurut Bappenas (1998), sekitar 1,5 juta ha lahan gambut di Indonesia
terbakar selama musim kering 1997 dan 1998. Parish (2002) melaporkan terjadinya
kebakaran gambut seluas 0,5 juta ha di Kalimantan pada musim kering 1982 dan
1983. Selain tanaman dan sisa-sisa tanaman yang ada di permukaan tanah, berbagai
material turut hangus terbakar, seperti humus dan gambut. Menurut Jaya et al.
(2000), kebakaran hutan mengakibatkan hilangnya serasah dan lapisan atas
gambut. Kerugian lainnya berupa gangguan terhadap keanekaragaman hayati,
lingkungan hidup, kesehatan manusia dan hewan, serta kelancaran transportasi
(Musa dan Parlan 2002).
Banjir, Longsor, dan Konversi Lahan
Degradasi lahan pertanian juga sering disebabkan oleh banjir dan longsor,
yang membawa tanah dari puncak atau lereng bukit ke bagian di bawahnya. Proses
ini menimbulkan kerusakan pada lahan pertanian baik di lokasi kejadian maupun
areal yang tertimbun longsoran tanah, serta alur di antara kedua tempat
tersebut. Proses degradasi lahan pertanian (dalam makna yang sebenarnya), yang
tergolong sangat cepat menurunkan bahkan menghilangkan produktivitas pertanian
adalah konversi ke penggunaan nonpertanian.
Pada tahun 1981-1999, di Indonesia terjadi konversi lahan sawah seluas 1,6
juta ha; dan sekitar 1 juta ha di antaranya terjadi di Jawa (Irawan et al.
2001). Winoto (2005) menyatakan sekitar 42,4% lahan sawah beririgasi (3,1 juta
ha) telah direncanakan untuk dikonversi. Kondisi terburuk terjadi di Jawa dan
Bali, karena 1,67 juta ha atau 49,2% dari luas lahan sawah berpotensi untuk
dikonversi.
Dampak
Degradasi Tanah
Degradasi tanah tidak hanya berdampak buruk terhadap produktivitas lahan,
tetapi juga mengakibatkan kerusakan atau gangguan fungsi lahan pertanian.
Produksi dan Mutu Hasil Pertanian
Erosi tanah oleh air menurunkan produktivitas secara nyata melalui penurunan
kesuburan tanah, baik fisika, kimia maupun biologi. Langdale et al. (1979) dan
Lal (1985) melaporkan bahwa hasil jagung menurun 0,07-0,15 t/ha setiap
kehilangan tanah setebal 1 cm. Hal ini terjadi karena tanah lapisan atas
memiliki tingkat kesuburan paling tinggi, dan menurun pada lapisan di bawahnya.
Penyebab utama penurunan kesuburan tersebut adalah kadar bahan organik dan hara
tanah makin menurun, tekstur bertambah berat, dan struktur tanah makin padat.
Penurunan produktivitas dan produksi pertanian juga dapat terjadi akibat
proses degradasi
jenis lain seperti kebakaran hutan (lahan) dan longsor, serta konversi
lahan pertanian ke nonpertanian.
Sumber Daya Air
Erosi tanah bukan hanya berdampak terhadap daerah yang langsung terkena,
tetapi juga daerah hilirnya, antara lain berupa pendangkalan dam-dam penyimpan
cadangan air dan saluran irigasinya, pendangkalan sungai, dan pengendapan
partikel-partikel tanah yang tererosi di daerah cekungan. Dengan demikian bukan
saja lahan yang terkena dampak, tetapi juga kondisi sumber daya air menjadi
buruk.
Multifungsi Pertanian
Lahan pertanian memiliki fungsi yang besar bagi kemanusiaan melalui fungsi
gandanya (multifunctionality). Selain berfungsi sebagai penghasil produk
pertanian (tangible products) yang dapat dikonsumsi dan dijual, pertanian
memiliki fungsi lain yang berupa intangible products, antara lain mitigasi
banjir, pengendali erosi, pemelihara pasokan air tanah, penambat gas karbon
atau gas rumah kaca, penyegar udara, pendaur ulang sampah organik, dan pemelihara
keanekaragaman hayati (Agus dan Husen 2004). Fungsi sosial-ekonomi dan budaya
pertanian juga sangat besar, seperti penyedia lapangan kerja dan ketahanan
pangan. Eom dan Kang (2001) dalam Agus dan Husen (2004) mengidentifikasi 30
jenis fungsi pertanian di Korea Selatan.
Fungsi-fungsi tersebut dapat terkikis secara gradual oleh erosi dan
pencemaran kimiawi, dan dapat berlangsung lebih cepat lagi dengan terjadinya
longsor, banjir, dan konversi lahan. Multifungsi tersebut perlu dilindungi,
antara lain dengan strategi sebagai berikut: (1) meningkatkan citra pertanian
beserta multifungsinya, (2) mengubah kebijakan produk pertanian harga murah,
(3) meningkatkan upaya konservasi lahan pertanian, dan (4) menetapkan lahan
pertanian abadi (Abdurachman 2006a).
Permasalahan
Konservasi Tanah
Faktor Alami Penyebab Erosi
Kondisi sumber daya lahan Indonesia cenderung mempercepat laju erosi tanah,
terutama tiga faktor berikut: (1) curah hujan yang tinggi, baik kuantitas
maupun intensitasnya, (2) lereng yang curam, dan (3) tanah yang peka erosi,
terutama terkait dengan genesa tanah
Data BMG (1994) menunjukkan bahwa sekitar 23,1% luas wilayah Indonesia
memiliki curah hujan tahunan > 3.500 mm, sekitar 59,7% antara 2.000-3.500
mm, dan hanya 17,2% yang memiliki curah hujan tahunan < 2.000 mm. Dengan
demikian, curah hujan merupakan faktor pendorong terjadinya erosi berat, dan
mencakup areal yang luas. Lereng merupakan penyebab erosi alami yang dominan di
samping curah hujan. Sebagian besar (77%) lahan di Indonesia berlereng > 3%
dengan topografi datar, agak berombak, bergelombang, berbukit sampai bergunung.
Lahan datar (lereng < 3%) hanya sekitar 42,6 juta ha, kurang dari seperempat
wilayah Indonesia (Subagyo et al. 2000). Secara umum, lahan berlereng (> 3%)
di setiap pulau di Indonesia lebih luas dari lahan datar (< 3%).
Praktek Pertanian yang Kurang Bijak
Tingginya desakan kebutuhan terhadap lahan pertanian menyebabkan tanaman
semusim tidak hanya dibudidayakan pada lahan datar, tetapi juga pada lahan yang
berlereng > 16%, yang seharusnya digunakan untuk tanaman tahunan atau hutan.
Secara keseluruhan, lahan kering datarberombak meliputi luas 31,5 juta ha
(Hidayat dan Mulyani 2002), namun penggunaannya diperebutkan oleh pertanian,
pemukiman, industri, pertambangan, dan sektor lainnya. Pada umumnya, daya saing
petani dan pertanian lahan kering jauh lebih rendah dibanding sektor lain,
sehingga pertanian terdesak ke lahanlahan berlereng curam.
Laju erosi tanah meningkat dengan berkembangnya budi daya pertanian yang
tidak disertai penerapan teknik konservasi, seperti pada sistem perladangan
berpindah yang banyak dijumpai di luar Jawa. Bahkan pada sistem pertanian
menetap pun, penerapan teknik konservasi tanah belum merupakan kebiasaan petani
dan belum dianggap sebagai bagian penting dari pertanian.
Faktor Kebijakan dan Sosial- Ekonomi
Rendahnya adopsi teknologi konservasi bukan karena keterbatasan teknologi,
tetapi lebih kuat disebabkan oleh masalah nonteknis. Kondisi seperti ini tidak
hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain. Hudson (1980)
menyatakan bahwa walaupun masih ada kekurangan dalam teknologi konservasi dan
masih ada ruang untuk perbaikan teknis, hambatan yang lebih besar adalah
masalah politik, sosial, dan ekonomi.
Kebijakan dan perhatian pemerintah sangat menentukan efektivitas dan
keberhasilan upaya pengendalian degradasi tanah. Namun, berbagai kebijakan yang
ada belum memadai dan efektif, baik dari segi kelembagaan maupun pendanaan.
Selaras dengan tantangan yang dihadapi, selama ini prioritas utama pembangunan
pertanian lebih ditujukan pada peningkatan produksi dan pertumbuhan ekonomi
secara makro, sehingga aspek keberlanjutan dan kelestarian sumber daya lahan
agak tertinggalkan. Padahal aspek tersebut berdampak jangka panjang bagi
pembangunan pertanian di masa mendatang.
Selain kurangnya dukungan kebijakan pemerintah, masalah sosial juga sering
menghambat penerapan konservasi tanah, seperti sistem kepemilikan dan hak atas
lahan, fragmentasi lahan, sempitnya lahan garapan petani, dan tekanan penduduk.
Kondisi ekonomi petani yang umumnya rendah sering menjadi alasan bagi mereka
untuk mengabaikan konservasi tanah.
Konversi lahan pertanian sering disebabkan oleh faktor ekonomi petani, yang
memaksa mereka menjual lahan walaupun mengakibatkan hilangnya sumber mata
pencaharian (Abdurachman 2004). Selain faktor alami, terjadinya kebakaran hutan
dan lahan terutama terkait dengan lemahnya peraturan dan sistem
perundangundangan. Selain itu, faktor teknis dan ekonomi juga menjadi pemicu
utama kebakaran hutan dan lahan dengan alasan mudah dan murah.
PERKEMBANGAN
ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI KONSERVASI TANAH
Degradasi tanah diartikan sebagai suatu proses, fenomena atau transformasi
yang menurunkan kualitas tanah, yang menyebabkan sifat-sifat fisika, kimia atau
biologi tanah menjadi kurang sesuai untuk pertanian (Arshad et al. 1998). Oleh
karena itu, konservasi tanah dimaksudkan untuk melindungi tanah dari
pengrusakan oleh proses degradasi tersebut. Ilmu pengetahuan dan teknologi
(iptek) tentang konservasi tanah di Indonesia terus berkembang sesuai dengan
makin bervariasinya jenis dan intensitas degradasi.
Perkembangan
Penelitian Konservasi Tanah
Sejarah perkembangan iptek dan penelitian tanah di Indonesia diawali pada
tahun 1905, bertepatan dengan berdirinya Laboratorium voor Vermeerdering de
Kennis van den Bodem (Laboratorium untuk
Perluasan Pengetahuan tentang Tanah), yang sekarang menjadi Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Kegiatan pengembangan
ilmu tanah waktu itu mencakup pula penelitian erosi dan konservasi tanah.
Namun, penelitian konservasi tanah yang lebih terprogram dan terorganisasi baru
dikembangkan pada tahun 1969/1970 dengan dibentuknya Bagian Konservasi Tanah
pada Lembaga Penelitian Tanah, Departemen Pertanian. Secara kronologis, garis
besar sejarah perkembangan penelitian konservasi tanah dapat dipilah dalam
beberapa kurun waktu sebagai berikut.
Periode 1970-1980
Dalam periode ini pengembangan iptek dan penelitian konservasi tanah
didominasi oleh kegiatan di laboratorium dan rumah kaca, didukung dengan
beberapa kegiatan penelitian lapangan. Kegiatan penelitian diarahkan untuk
mengkompilasi berbagai data fisika dan konservasi tanah serta menguji berbagai
metode dan teknologi dasar konservasi tanah dan air, termasuk penggunaan soil
conditioner. Dalam periode ini juga dikembangkan teknik
simulasi dan pemodelan, seperti rainfall simulator, Universal Soil Loss
Equation (USLE), dan RUSLE (Revised USLE) (Abdurachman et al. 1984; Abdurachman
1989; Abdurachman dan Kurnia 1990).
Beberapa inovasi iptek utama yang dihasilkan dalam periode ini adalah: (1)
nilai faktor erodibiltas tanah-tanah Indonesia (Kurnia dan Suwardjo 1984), (2)
nilai faktor pertanaman dan tindakan pengendalian erosi (Abdurachman et al.
1984), (3) penggunaan soil conditoner, (4) tingkat erosi tanah pada berbagai
lahan pertania, (5) teknologi pengelolaan bahan organik, (6) teknologi
pengolahan tanah, (7) teknologi pengendalian erosi, dan (8) teknologi
rehabilitasi tanah.
Periode 1980-2002
Dalam periode ini, iptek dan penelitian konservasi tanah lebih diarahkan
pada kegiatan lapangan dengan melibatkan petani, dan didukung dengan penelitian
rumah kaca dan laboratorium. Kegiatan penelitian dan pengembangan konservasi
tanah pada masa ini cukup aktif dan luas, karena didukung oleh berbagai kerja
sama dalam dan luar negeri. Kegiatan utamanya antara lain (Abdurachman dan Agus
2000; Agus et al. 2005) : (1) Proyek Penyelamatan Hutan Tanah dan Air di DAS
Citanduy, 1982-1988; (2) Proyek Penelitian Lahan Kering dan Konservasi Tanah
(P3HTA/ UACP) di DAS Jratunseluna dan Brantas, 1984-1994; (3) Proyek Penelitian
Terapan Sistem DAS Kawasan Perbukitan Kritis di Yogyakarta (YUADP), 1992-1996;
(4) Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nusa Tenggara, 1986-1995; (5)
Penelitian Peningkatan Produktivitas dan Konservasi Tanah untuk Mengatasi
Peladangan Berpindah, 1990-1993; (6) Proyek Penelitian Usahatani Lahan
Kering-UFDP (Upland Farmers Development Project) di Jawa Barat, Kalimantan
Tengah, dan Nusa Tenggara Timur, 1993-2000; (7) Kelompok Kerja Penelitian dan
Pengembangan Sistem Usahatani Lahan Kering, di DAS Cimanuk, 1995-2000; (8)
Managing of Soil Erosion Consortium (MSEC) di Jawa Tengah, 1995-2004; dan (9)
Penelitian Multifungsi Pertanian, antara lain untuk memformulasikan kebijakan
pembangunan pertanian dan tata guna lahan, 2000-2005.
Kegiatan penelitian dan pengembangan tersebut menghasilkan berbagai
teknologi dan sistem usaha tani konservasi (SUT), termasuk model kelembagaan
dan sistem diseminasinya. Beberapa rekomendasi pengelolaan lahan juga
dihasilkan, seperti formulasi dan pemilihan jenis tanaman sesuai kemiringan
lereng, SUT pada wilayah pegunungan, dan SUT lahan kering beriklim kering.
Bahkan Permentan No. 47/2006 tentang Pedoman Budidaya pada Lahan Pegunungan,
pada hakekatnya merupakan kristalisasi, penjabaran, dan aplikasi dari hampir
seluruh kegiatan atau program penelitian dan pengembangan konservasi tanah pada
periode ini.
Periode 2002-2007
Pada periode ini, kegiatan penelitian konservasi tanah berkurang karena
tidak banyak lagi penelitian konservasi yang melibatkan petani pada areal yang
luas. Kegiatan lebih banyak berupa desk-work, memanfaatkan data yang telah
terkumpul untuk menyusun baku mutu tanah, pemodelan konservasi tanah, buku
petunjuk konservasi tanah, dan sebagainya. Pada periode ini juga diupayakan
pengembangan dan diseminasi iptek Prima Tani di berbagai lokasi, terutama pada
lahan kering beriklim basah. Kegiatan lain diarahkan pada upaya perakitan
teknologi dan rehabilitasi lahan-lahan terdegradasi, seperti lahan bekas
tambang, lahan tercemar, bekas longsor, termasuk lahan yang tergenang lumpur di
Sidoarjo.
Perencanaan Konservasi Tanah
Wilayah Indonesia yang terbentang luas dari Sabang sampai Merauke memiliki
tanah dan unsur-unsur iklim yang sangat beragam, sehingga tingkat bahaya erosi
pun berbeda-beda antara satu wilayah dengan lainnya. Oleh karena itu, data dan
informasi tentang jenis dan besaran faktor-faktor penyebab erosi sangat penting
sebagai dasar perencanaan konservasi tanah yang efektif dan efisien.
Secara umum, faktor-faktor penyebab erosi dapat digambarkan dengan persamaan
umum erosi (USLE, Wischmeier dan Smith1978). Untuk wilayah Indonesia, nilai
faktor erosi dapat dihitung dengan rumus-rumus yang ditemukan dari hasil
penelitian di berbagai stasiun percobaan, antara lain penghitungan nilai
erosivitas (Abdurachman 1989), nilai erodibilitas (Abdurachman 1989), dan
faktor panjang dan kemiringan lereng (LS) yang dihitung menggunakan rumus
Morgan. Beberapa percobaan lapangan yang dilakukan sejak tahun 1970-an telah
menghasilkan nilai C untuk berbagai jenis tanaman (Abdurachman et al. 1984).
Faktor tindakan konservasi tanah dihitung de-ngan rumus 5 (Tabel 1). Nilai
faktor P dan CP hasil percobaan Lembaga Penelitian Tanah telah dipublikasikan
(Abdurachman et al. 1984) dan digunakan dalam penelitian dan perencanaan
konservasi tanah.
Untuk keperluan perencanaan konservasi tanah atau perluasan areal
pertanian, metode prediksi erosi USLE dapat digunakan dengan hasil yang baik
(Abdurachman 1997). Penilaiannya adalah dengan membandingkan jumlah tanah
tererosi dengan batas ambang erosi atau tolerable soil loss.
Diseminasi dan Pemanfaatan Teknologi
Pada kurun waktu 1982-2005, telah dilaksanakan berbagai kegiatan diseminasi
dan pemanfaatan teknologi konservasi pada proyek-proyek konservasi seperti
tersebut di atas. Teknologi konservasi yang diterapkan antara lain adalah teras
bangku, teras gulud, strip rumput, mulsa, dan pertanaman lorong (alley
cropping). Teknik konservasi yang paling banyak diadopsi adalah teras bangku,
karena sejak tahun 1975 teknik konservasi ini telah menjadi bagian dari
kegiatan penghijauan setelah diterbitkannya Inpres Penghijauan (Mangundikoro
1985). Teknik pertanaman lorong banyak diteliti dan didiseminasikan antara lain
untuk menguji berbagai jenis tanaman yang cocok untuk tanaman pagar, dan
mempelajari kontribusi serta kompetisi tanaman pagar terhadap tanaman lorong
(Haryati et al. 1995; Abdurachman 2003).
Teknik pengendalian degradasi tanah telah dipublikasikan dalam buku,
prosiding, dan petunjuk teknis. Teknologi konservasi tanah yang telah
dipublikasikan dalam bentuk buku antara lain adalah teknologi konservasi tanah
mekanik (Dariah et al. 2004), teknologi konservasi tanah vegetatif (Santoso et
al. 2004), teknologi konservasi tanah pada budi daya sayuran dataran tinggi
(Kurnia et al. 2004), dan teknologi pengendalian erosi lahan berlereng
(Abdurachman et al. 2005).
Prospek ke Depan
Pengetahuan dan teknologi konservasi tanah yang lebih komprehensif makin
diperlukan sejalan dengan meningkatnya kompleksitas permasalahan degradasi
tanah dan lahan sebagai konsekuensi pesatnya pembangunan nasional yang terkait
dengan pemanfaatan dan pengelolaan lahan. Oleh karena itu, teknologi
pengendalian erosi saja tidak cukup, karena dewasa ini degradasi tanah tidak
hanya diakibatkan oleh erosi, seperti halnya pada 40-50 tahun yang lalu.
Degradasi tanah sudah merambah ke proses pencemaran residu bahan-bahan
agrokimia dan limbah industri, aktivitas penambangan, kebakaran hutan, dan
konversi lahan pertanian.
Pencemaran tanah oleh bahan-bahan agrokimia belum sepenuhnya dapat diatasi,
meskipun pemerintah telah mengeluarkan regulasi pengadaan (impor), peredaran,
dan penggunaan senyawa kimiawi. Di lapangan, penggunaan bahan-bahan agrokimia
terus meningkat dari tahun ke tahun (Soeyitno dan Ardiwinata 1999). Pembakaran
hutan yang masih terus berlangsung belum mampu dicegah dengan pelarangan
penggunaan api untuk pembukaan lahan.
Upaya lain yang mendesak untuk segera ditangani adalah pengendalian
degradasi daerah tangkapan hujan (water catchment area) dan pengendalian
konversi lahan pertanian. Keduanya menimbulkan hambatan besar bagi pembangunan
pertanian, berupa penurunan produksi pertanian nasional, di samping kerugian
besar bagi keluarga tani, masyarakat, dan pemerintah daerah.
Informasi tersebut di atas mengindikasikan bahwa ke depan, teknologi dan
kebijakan konservasi tanah dalam arti luas masih perlu dicari dan dikembangkan
lebih lanjut. Teknologi pengendalian erosi sudah tersedia, namun diseminasinya
perlu ditingkatkan agar dapat diterima dan diadopsi oleh pengguna lahan
(Abdurachman dan Hidayat 1999).
KONSERVASI
TANAH DALAM KERANGKA REVITALISASI PERTANIAN
Konservasi tanah sangat penting untuk mengatasi degradasi lahan yang
merupakan salah satu dari empat ancaman utama terhadap pelaksanaan RPPK,
khususnya pada sektor pertanian di mana ketahanan pangan menjadi salah satu
pilar utama. Keempat ancaman tersebut adalah: (1) pelandaian dan stagnasi
produktivitas padi akibat kemandegan implementasi inovasi teknologi, (2)
ketidakstabilan produksi padi akibat cekaman hama dan penyakit serta iklim, (3)
degradasi sumber daya pertanian, terutama lahan dan air, serta (4) konversi
lahan pertanian.
Kebijakan dan Strategi Revitalisasi Pertanian RPPK yang dicanangkan oleh
Presiden pada Juni 2005 merupakan strategi umum untuk meningkatkan
kesejahteraan petani, nelayan dan petani hutan, serta menjaga kelestarian
sumber daya alam (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian 2005). Dalam RPPK
ditetapkan tiga butir kebijakan dan strategi umum, yaitu:
1. Pengurangan kemiskinan dan kegureman, pengurangan pengangguran, serta
pencapaian skala ekonomi usaha PPK, terutama melalui pengelolaan pertanahan,
tata ruang dan keagrariaan, fasilitasi pengembangan kesempatan kerja dan
berusaha di luar usaha tani, pengembangan agroindustri pedesaan, diversifikasi
kegiatan produksi, serta pengembangan infrastruktur dan kelembagaan usaha tani.
2. Peningkatan daya saing, produktivitas, nilai tambah, dan kemandirian
produksi dan distribusi PPK, terutama melalui praktek pertanian yang baik (good
agriculture practice), pengembangan usaha baru dan multiproduk, agroindustri
pedesaan, infrastruktur, kelembagaan usaha tani, pengembangan akses terhadap
berbagai hambatan usaha dan sumber ekonomi biaya tinggi, serta perlindungan
usaha atas persaingan tidak adil.
3. Pelestarian dan pemanfaatan lingkungan hidup dan sumber daya alam secara
berkelanjutan, terutama melalui pengelolaan konservasi, pertanahan, tata ruang
dan keagrariaan, serta mendorong pengembangan usaha, penerapan teknologi dan
kelembagaan yang ramah lingkungan, serta penegakan hukum.
Ketiga butir kebijakan dan strategi tersebut terkait erat dengan aspek
konservasi tanah, yaitu terkendalinya proses degradasi lahan, sehingga sistem
pertanian menjadi berkelanjutan dan masyarakat lebih sejahtera .
Peran Konservasi Tanah
Peran konservasi tanah dalam RPPK antara lain dinyatakan dalam butir (3)
dan (2) tersebut di atas. Dalam butir (3), jelas dinyatakan bahwa pengelolaan
konservasi merupakan strategi utama dalam upaya pelestarian dan pemanfaatan
lingkungan hidup dan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Selanjutnya pada butir (2) ditegaskan strategi utama dalam peningkatan daya
saing, produktivitas, nilai tambah, dan kemandirian produksi dan distribusi,
serta praktek usaha pertanian yang baik. Dalam usaha ini, pengelolaan
konservasi tanah menjadi komponen utama yang perlu diperhatikan agar tercapai
tingkat produktivitas yang tinggi dan berkelanjutan. Tanpa konservasi tanah,
dapat terjadi erosi pada lahan tanaman pangan sampai 14-15 mm/tahun, seperti di
Putat, Jawa Tengah, dan di Punung, Jawa Timur (Abdurachman et al. 1985),
Demikian juga pada lahan tanaman pangan yang berlereng 14% di Baturaja, laju
erosi mencapai 4,6 mm/tahun (Abdurachman et al. 1985). Mengingat pentingnya
konservasi tersebut dalam RPPK khususnya dan pembangunan pertanian pada
umumnya, maka selain aspek teknis di lapangan juga perlu didukung sistem
kelembagaan yang tegas, seperti regulasi dan instansi pemerintah yang diberi
mandat untuk melaksanakan program konservasi, terutama pada lahan pertanian.
Penetapan Lahan Pertanian Abadi
RPPK mengamanatkan perlunya penetapan, penegasan, dan penegakan hukum bagi
tersedianya lahan pertanian abadi, yang terdiri atas 15 juta ha lahan
beririgasi dan 15 juta ha lahan kering. Penetapan ini merupakan salah satu
strategi operasional, dengan tujuan utama untuk mengendalikan konversi lahan
pertanian.
Keberadaan lahan abadi tersebut dipandang akan mampu mendukung pemantapan
ketahanan pangan dan peningkatan volume ekspor hasil pertanian. Namun jelas,
lahan abadi tersebut harus dilengkapi dengan instrumen konservasi tanah yang
efektif agar tidak berubah menjadi lahan tidur dan terbengkalai. Penetapan
lahan abadi merupakan manifestasi dari kebijakan pemerintah dalam pengelolaan
konservasi lahan pertanian
Penetapan lahan sawah abadi 15 juta ha harus didasarkan atas kriteria yang
jelas, baik dari aspek teknis maupun aspek hukum, budaya dan sosial, serta
dilakukan secara bertahap. Sekarang ini luas sawah baku di Indonesia hanya 7,78
juta ha (BPS 2003), dengan kualitas bervariasi dari sawah irigasi teknis sampai
sawah tadah hujan. Dengan menggunakan kriteria biofisik lahan, produktivitas,
indeks pertanaman, dan status irigasi, lahan sawah yang layak dijadikan sawah
abadi hanya 3,3 juta ha (Abdurachman 2004).
Sementara ini, areal pertanian lahan kering cukup luas, yaitu 39,6 juta ha
(BPS 2004), terdiri atas tegalan (15,6 juta ha), pekarangan (5,7 juta ha),
perkebunan (18,3 juta ha), lahan kayu-kayuan (10,4 juta ha), serta lahan
terlantar (10,2 juta ha). Dengan demikian, menemukan lahan kering abadi 15 juta
ha tidak sulit, cukup dengan memilih lahan pertanian yang sudah ada saat ini.
STRATEGI
KONSERVASI TANAH DI INDONESIA
Upaya konservasi tanah tidak dapat diserahkan hanya kepada inisiatif dan
kemampuan petani saja, karena berbagai keterbatasan, terutama permodalan,
selain kurang memahami pentingnya konservasi. Oleh karena itu, peran pemerintah
sangat penting dan menentukan. Demikian juga strategi yang dipilih untuk
mensukseskan implementasinya di lapangan sangat menentukan keberhasilan.
Strategi tersebut meliputi lima hal sebagai berikut.
Strategi 1 Penyiapan Teknologi Konservasi
Teknologi konservasi tanah yang tepat guna, berupa teknologi pengendalian
erosi dan longsor, sudah tersedia. Beberapa di antaranya telah dipublikasikan
dalam berbagai media cetak berupa buku, jurnal, dan prosiding. Yang perlu
dilakukan adalah mengumpulkan dan menyusunnya dalam buku teknologi atau
menyediakan file elektronis, sehingga dapat diakses dengan mudah oleh penyuluh
dan calon pengguna lainnya. Teknologi untuk mengendalikan pencemaran kimiawi,
kebakaran hutan, polusi oleh limbah pertambangan dan industri, serta konversi
lahan masih perlu diteliti dan dikembangkan lebih lanjut.
Strategi 2 Percepatan Diseminasi
Upaya penelitian konservasi tanah selama ini belum didukung oleh sistem
diseminasi yang handal. Teknologi pengendalian erosi lebih banyak diterapkan
pada proyek reboisasi dan penghijauan yang dikelola oleh Departemen Kehutanan.
Sasaran utaman proyek tersebut adalah kawasan hutan, terutama pada DAS bagian
hulu, sedangkan konservasi wilayah pertanian hanya terbatas pada penghijauan
lahan pertanian di DAS hulu. Oleh karena itu, diperlukan pembenahan terhadap
materi, program, dan kelembagaan penyuluhan pertanian di tingkat pusat dan
daerah. Untuk mendukung pembenahan ini, penelitian konservasi tanah perlu
diarahkan kepada pencarian metode diseminasi teknologi yang tepat, di samping
penelitian teknologinya sendiri.
Salah satu program Departemen Pertanian yang dapat dijadikan wadah
percepatan diseminasi teknologi konservasi adalah Prima Tani, yang salah satu
tujuannya adalah mempercepat diseminasi inovasi pertanian (Abdurachman 2006b,
2006c). Prima Tani merupakan model pembangunan pedesaan yang mengintegrasikan
berbagai program pertanian, penanggulangan kemiskinan dan pengangguran secara
sinergis, yang juga bertujuan untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi desa
berupa sumber daya manusia dan lahan. Jadi secara filosofis, semangat Prima
Tani sangat dekat dengan semangat konservasi sumber daya. Oleh karena itu,
melalui Prima Tani, teknologi konservasi tanah berpeluang diterapkan di lahan
petani sebagai percontohan. Lebih jauh, Menteri Pertanian menganggap Prima tani
sebagai suatu model pembangunan pertanian yang berawal dari desa, dan merupakan
tonggak baru sejarah pembangunan pertanian (Abdurachman 2007).
Teknologi konservasi dapat pula didiseminasikan melalui peraturan, seperti
dengan penetapan Permentan 47 tahun 2006 tentang Pedoman Umum Budidaya
Pertanian pada Lahan Pegunungan. Dalam Permentan tersebut dengan tegas
ditetapkan strategi dan teknologi konservasi tanah dan air menurut
karakteristik lahan dan iklim secara spesifik lokasi. Secara substansial,
Permentan tersebut disusun dan merupakan kristalisasi serta sari pati hasil
pembelajaran dari berbagai program penelitian dan pengembangan konservasi sejak
puluhan tahun yang lalu.
Strategi 3: Reformasi Kelembagaan Konservasi Tanah
Pada tahun 2005, dalam struktur organisasi Departemen Pertanian dibentuk
kelembagaan eselon I baru, yaitu Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air,
dengan Permentan No. 299 tahun 2005. Hal ini memberikan harapan akan lebih
tertibnya pengelolaan lahan dan air, walaupun mandat konservasi tanah masih
diletakkan pada tingkat jabatan yang relatif rendah (eselon III), yaitu Subdit
Rehabilitasi, Konservasi, dan Reklamasi Lahan.
Makin cepatnya laju degradasi lahan pertanian, yang mengancam keberlanjutan
dan tingkat produksi pertanian, menuntut adanya politik pemerintah yang lebih
tegas, antara lain dengan meninjau ulang posisi kelembagaan konservasi tanah.
Mandat konservasi tanah di Departemen Pertanian seyogianya dilaksanakan oleh
suatu kelembagaan setingkat eselon II (Direktorat Konservasi Tanah), di bawah
Ditjen PLA, bahkan lebih baik lagi dibentuk Direktorat Jenderal Konservasi
Tanah. Dengan demikian akan ada kelembagaan khusus yang bertugas merumuskan
serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang konservasi
tanah, yang meliputi seluruh wilayah Indonesia.
Strategi 4: Relokasi Program
Konservasi Tanah
Program konservasi tanah selama ini dilaksanakan oleh Departemen Kehutanan,
dengan nama Reboisasi dan Penghijauan hingga tahun 2002. Kemudian pada tahun
2003 digalakkan gerakan masyarakat yang disebut Gerakan Rehabilitasi Hutan dan
Lahan Nasional (Gerhan). Hingga tahun 2006, untuk merehabilitasi lahan 2,1 juta
ha digunakan anggaran Rp8,586 triliun atau Rp4 juta/ha, yang bersumber dari
dana reboisasi (Kartodihardjo 2006). Namun, hanya 2,1% dari anggaran tersebut
yang digunakan untuk pembuatan konstruksi teknis konservasi mekanis, seperti
teras dan saluran drainase, sehingga dampak program tersebut tampaknya belum
cukup berarti, terutama untuk konservasi lahan pertanian. Berdasarkan kenyataan
tersebut, seyogianya program konservasi lahan pertanian dikelola oleh
kelembagaan konservasi di Departemen Pertanian yang dikoordinasikan dengan
program Dinas Pertanian di provinsi dan kabupaten. Dengan demikian, konservasi
lahan pertanian akan mendapat perhatian lebih besar, dan Departemen Kehutanan
dapat memfokuskan programnya pada penanganan konservasi kawasan hutan.
Strategi 5: Pelaksanaan Program Pendukung
Upaya konservasi lahan pertanian perlu didukung perbaikan perencanaan dan
implementasi programnya, antara lain berupa program sebagai berikut.
Peningkatan Kesadaran Masyarakat
Hasil penelitian di DAS Citarum dan DAS Kaligarang menunjukkan bahwa
masyarakat pedesaan baru mengenal 2-4 jenis fungsi lahan pertanian, yaitu
penghasil produk pertanian, pemelihara pasokan air tanah, pengendali banjir,
dan penyedia lapangan kerja. Padahal fungsi lahan pertanian bagi kemanusiaan
mencapai 30 jenis.
Sehubungan dengan hal tersebut, penggalakan konservasi tanah harus meliputi
pula advokasi pentingnya pertanian beserta fungsi gandanya. Dalam jangka
pendek, promosi dapat dilakukan melalui seminar dan simposium serta media cetak
dan elektronis. Dalam jangka panjang, sasaran advokasi bukan saja masyarakat
umum, tetapi juga pelajar dan mahasiswa melalui kurikulum pokok dan
ekstra-kurikuler.
Penguatan Kelembagaan Penyuluhan
Kondisi kelembagaan penyuluhan saat ini kurang kondusif untuk pembangunan
pertanian secara umum, lebih-lebih untuk pengembangan konservasi tanah. Hal ini
terjadi terutama setelah diberlakukannya UU No. 32/2004 tentang otonomi daerah,
yang antara lain mengalihkan pengelolaan urusan penyuluhan pertanian dari
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Kabupaten. Namun dengan diterbitkannya UU No
16/2006 tentang penyuluhan diharapkan fungsi penyuluhan akan lebih baik,
apalagi dengan digabungnya penyuluhan pertanian, perkebunan, dan peternakan
dalam satu wadah. Salah satu hal yang perlu diupayakan adalah pengadaan tenaga
penyuluh konservasi tanah lapangan yang terlatih dan dibekali pengetahuan dan
teknologi konservasi yang memadai.
Penegakan Hukum
RUU Konservasi Tanah masih dalam proses ke arah pengesahan menjadi
undang-undang. Namun sebenarnya berbagai peraturan/perundangan yang berkaitan
dengan masalah kerusakan lahan pertanian, terutama konversi lahan ke nonpertanian,
sudah banyak diberlakukan dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri,
dan Peraturan Daerah. Masalah yang mengemuka adalah lemahnya penegakan hukum
terutama karena penerapan law-enforcement yang kurang tegas.
Advokasi Penanggung Jawab
Konservasi Perlu dilakukan advokasi intensif kepada masyarakat luas untuk
menjelaskan bahwa penyelamatan sumber daya lahan dan lingkungan bukan hanya
tugas pemerintah, tetapi juga tanggung jawab bersama seluruh generasi bangsa
Indonesia.
KESIMPULAN DAN
IMPLIKASI KEBIJAKAN
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa butir kesimpulan sebagai
berikut:
1. Lahan pertanian di
Indonesia telah dan terus mengalami degradasi, yang mengancam keberlanjutan
sistem pertanian, ketahanan pangan, kesejahteraan petani, dan kelestarian
lingkungan. Proses degradasi juga mengancam keberhasilan Revitalisasi
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK), yang bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan petani, nelayan dan petani hutan, serta menjaga kelestarian
sumber daya alam. Namun upaya pemerintah dalam pengendalian degradasi lahan
pertanian belum optimal, sementara petani belum mampu mengatasinya sendiri.
2. Jenis degradasi tanah yang
dominan adalah erosi yang disebabkan oleh tingginya faktor-faktor pendorong,
yaitu kemiringan lahan, curah hujan, kepekaan tanah terhadap erosi, dan
kebiasaan bertani tanpa teknik pengendalian erosi. Jenis degradasi lain adalah
pencemaran kimiawi, kebakaran hutan, longsor, dan konversi lahan pertanian.
3. Iptek konservasi tanah
berkembang sejalan dengan perkembangan penelitian dan meningkatnya jenis dan
intensitas degradasi tanah. Teknologi pengendalian erosi cukup tersedia, namun
diseminasi dan adopsinya oleh pengguna belum terlaksana dengan baik.
4. Pada tataran kebijakan
pemerintah, masalah utama yang dihadapi adalah lemahnya kelembagaan dan program
konservasi tanah di Departemen Pertanian, yang seyogianya memiliki kemampuan
tinggi untuk mengatasi meningkatnya masalah degradasi lahan pertanian. Pada
tataran lapangan, masalah yang perlu diatasi adalah yang berkaitan dengan aspek
sosial-ekonomi, budaya, dan hukum.
Dalam kerangka mendukung RPPK khususnya dan pembangunan pertanian pada
umumnya, diperlukan strategi dan implikasi kebijakan sebagai berikut:
1. Meningkatkan program
penelitian dan pengembangan teknologi konservasi, terutama untuk mengendalikan
pencemaran tanah, kebakaran hutan, dan konversi lahan pertanian.
2. Mempercepat diseminasi
teknologi pengendalian erosi dan longsor, antara lain melalui Prima Tani, yaitu
program pembangunan pertanian yang berawal
dari desa, yang antara lain bertujuan memasyarakatkan inovasi pertanian.
3. Meningkatkan posisi
kelembagaan konservasi tanah di Departemen Pertanian dari Subdirektorat (Eselon
III) menjadi Direktorat Jenderal Konservasi Tanah dan Air. Dengan demikian,
akan ada kelembagaan yang kuat untuk memberikan bahan-bahan pertimbangan kepada
Menteri Pertanian, melaksanakan penyiapan rumusan dan bimbingan teknis serta
evaluasi di bidang konservasi tanah.
4. Mengalihkan program
konservasi dan rehabilitasi lahan pertanian dari Departemen Kehutanan ke
Departemen Pertanian. Di satu sisi, lahan-lahan pertanian akan dapat dibina dan
ditingkatkan produktivitasnya melalui kebijakan dan fasilitasi satu kelembagaan
saja, yaitu Departemen Pertanian. Di sisi lain, masalah degradasi kawasan hutan
akan dapat diatasi dengan lebih efektif oleh Departemen Kehutanan.
5. Melaksanakan
program-program pendukung, yaitu: (a) peningkatan kesadaran masyarakat akan
pentingnya pertanian dengan multifungsinya, (b) penguatan kelembagaan
penyuluhan pertanian, termasuk pengadaan tenaga khusus penyuluh konservasi
tanah, (c) penegakan hukum dalam perkara yang berkaitan dengan perlindungan
lahan pertanian,dan (d) advokasi intensif kepada masyarakat luas untuk
memberikan penjelasan bahwa penyelamatan sumber daya lahan dan lingkungan bukan
hanya tugas pemerintah, tetapi juga tanggung jawab bersama seluruh generasi
bangsa Indonesia.
PENUTUP
Sumber daya lahan Nusantara merupakan anugerah dan amanat dari Tuhan Yang
Maha Pemurah kepada seluruh bangsa Indonesia. Amanat ini seharusnya
dipertanggungjawabkan dengan cara memelihara dan mengoptimalkan
pendayagunaannya untuk kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan,
Namun, kenyataan menunjukkan bahwa sumberdaya lahan pertanian dan kawasan hutan
digunakan secara tidak rasional, sering ditujukan hanya untuk memperoleh
keuntungan jangka pendek semata. Hal ini menimbulkan dampak buruk berupa
penurunan produktivitas pertanian, bencana banjir, tanah longsor, dan
kekeringan berkepanjangan
Apabila cara-cara mengelola sumber daya lahan tersebut tidak diperbaiki
sesuai karakteristik masing-masing lahan maka ancaman malapetaka pasti akan
bertambah besar. Hal ini telah diperingatkan pada 14,5 abad yang lalu, dalam
Alqur’an: QS 30: 41: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan
oleh tangan-tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) “.
Semoga peringatan keras ini menggugah kesadaran dan kearifan kita semua,
dan ke depan seyogianya kita lebih waspada dan bijak dalam mengelola sumber
daya alam yang dititipkan kepada kita sekalian, bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman, A., S. Abuyamin, dan U. Kurnia. 1984. Pengelolaan tanah dan
tanaman untuk usaha konservasi tanah. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 3:
7-11.
Abdurachman, A., A. Barus, U. Kurnia, dan Sudirman. 1985. Peranan pola
tanam dalam usaha pencegahan erosi pada lahan pertanian tanaman semusim.
Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 4: 41-46.
Abdurachman, A. 1989. Rainfall Erosivity and Soil Erodibility in Indonesia:
Estimation and Variation with Time. Doctorate Thesis. University of Ghent,
Belgium. 195 hlm.
Abdurachman, A. dan U. Kurnia. 1990. Estimasi indeks erodibilitas tanah
dengan menggunakan teknik simulasi hujan di laboratorium. Pemberitaan Penelitin
Tanah dan Pupuk 9: 38-45.
Abdurachman, A. 1997. Penggunaan RUSLE untuk menduga erosi tanah pada lahan
pertanian di Indonesia. Lokakarya Penetapan Model Pendugaan Erosi Tanah. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor.
Abdurachman, A. dan A. Hidayat, 1999. Pengelolaan sumber daya lahan dan air
untuk mendukung pembangunan pertanian. Seminar Nasional Sektor Pertanian
sebagai Andalan Ekonomi Nasional. Jakarta 26-27 Juli 1999.
Abdurachman, A. dan F. Agus. 2000. Pengembangan teknologi konservasi tanah
pasca NWMCP. hlm. 25-38. Prosiding Lokakarya Nasional Pembahasan Hasil
Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, 2-3 September 1999. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Abdurachman, A. 2003. Strategi dan arah ke depan penelitian dan
pengembangan sumber daya lahan. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi
Sumberdaya Tanah dan Iklim, 14-15 Oktober 2003. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Abdurachman, A. 2004. Pengendalian konversi lahan sawah secara
komprehensif. Makalah pada Round Table Pengendalian Konversi dan Pengembangan
Lahan Pertanian,14 Desember 2004.
Abdurachman, A., Sutono, dan N. Sutrisno 2005. Teknologi pengendalian erosi
lahan kering berlereng. hlm. 101-140 . Dalam Abdurachman et. al. (Eds).
Teknologi Pengelolaan Lahan Kering: Menuju Pertanian Produktif dan Ramah
Lingkungan.
Abdurachman, A. 2006a. Strategi mempertahankan multifungsi pertanian di
Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 24 (5): 99-105.
Abdurachman, A. 2006b. Prima Tani: Membangun agroindustri pedesaan dengan inovasi
teknologi dan kelembagaan agribisnis. Sinar Tani edisi 23-29/08- 2006. No. 3164
Tahun XXXVI.
Abdurachman, A. 2006c. Prima Tani: Peluang emas bagi pemanfaatan iInovasi
pertanian. Agrotek. Edisi Agustus- September 2006. Opini: 32-33.
Abdurachman, A. 2007. Tonggak sejarah pembangunan pertanian. Sinar Tani.
Edisi 2007. No. Tahun XXXVII. hlm. 20.
Agus, F. dan E. Husen 2004. Tinjauan umum multifungsi pertanian. Seminar
Nasional Multifungsi Pertanian dan Ketahanan Pangan. Bogor. 12 Oktober 2004.
Agus, F., R.L. Watung, Wahyuno, Irawan, A.R. Nurmanaf, Sutono, and S.
Tala’ohu. 2005. Assessment of the multifunctionality of agriculture.
Environmental aspects and community evaluation. Report of Phase I: Evaluation
of Multifunctionality of Paddy Farming and Its Effects in ASEAN Countries. p.
93-154.
Ardiwinata, A.N., S.Y. Jatmiko, dan E.S. Harsanti. 1999. Monitoring residu
insektisida di Jawa Barat. dalam Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi GRK dan
Peningkatan Produksi Padi di Lahan Sawah Menuju Sistem Produksi Padi Berwawasan
Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Arshad, M., A. Khalid, and Z.A. Zahir. 1998. Degraded soils and organic
matter. APO Seminar on Soil Degradation. Univ of Agriculture. Faisalabad,
Pakistan, 19-24 October1998. p. 15.
Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional). 1998. Planning for Fire
Prevention and Drought Management Project, Jakarta. BMG (Badan Meteorologi dan
Geofisika). 1994. Rainfall types in Indonesia. BMG. Jakarta BPS (Badan Pusat
Statistik). 2003-2004. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Dariah, A., U. Haryati, dan T. Budiastoro. 2004. Teknologi konservasi tanah
mekanik. hlm. 109-132. Dalam Kurnia et. al. (Ed.). Teknologi Konservasi Tanah
pada Lahan Kering Berlereng.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Dudal, R.
1980. An evolution of conservation needs p. 5-12. In R.P.C. Morgan (Ed). Soil
Conservation, Problems and Aspects. John Wiley & Sons, USA.
Harsanti, E.S., S.Y. Jatmiko dan A.N. Ardiwinata. 1999. Residu insektisida
pada ekosistem lahan sawah irigasi di
Jawa Timur. Dalam Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi GRK dan
Peningkatan Produksi Padi di Lahan Sawah Menuju Sistem Produksi Padi Berwawasan
Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Haryati, U., Haryono, dan A. Abdurachman. 1995. Pengendalian erosi dan
aliran permukaan serta produksi tanaman pangan dengan berbagai teknik
konservasi pada Typic Eutropept di Ungaran, Jawa Tengah. Pemberitaan
PenelitianTanah dan Pupuk 13: 40-50.
Hidayat, A. dan A. Mulyani. 2002. Lahan kering untuk pertanian. hlm. 1-34.
Dalam Abdurachman, Mappaona dan Saleh (Ed.). Teknologi Pengelolaan Lahan
Kering. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Hudson, N. W. 1980. Social, Political and economics aspects of soil
conservation. p. 45-54. In P.C. Morgan (Ed). Soil Conservation Problems and
Aspects. John Wiley & Sons, USA. Irawan, B., S. Eriyatno, A. Supriyatna,
I.S. Anugrah, N.A. Kirom, B. Rachman, dan B. Wiryono. 2001. Perumusan model
kelembagaan konversi lahan pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian, Bogor.
Jatmiko, S.Y., E.S. Harsanti, dan A.N. Ardiwinata. 1999. Pencemaran
pestisida pada agroekoistem lahan sawah irigasi dan tadah hujan di Jawa Tengah.
Dalam Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi GRK dan Peningkatan Produksi Padi
di Lahan Sawah Menuju Sistem Produksi Padi Berwawasan Lingkungan. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Jaya, A., S.E. Page, J.O. Rieley, S. Limin. and H.D.V. Bohn. 2000. Impact
of forest fire on carbon storage in tropical peat lands. p. 106-113. In
L.Rochefort and J.Y. Daigle (Eds). Sustaining Our Peatlands. Proc. of the 11th
International Peat Congress, Quebec, Canada.
Kartodihardjo, H. 2006. Masalah dan kebijakan rehabilitasi hutan dan lahan.
Makalah pada Diskusi Terbuka Rehabilitasi Hutan dan Lahan: Kebijakan,
operasionalisasi dan gagasan baru. Institut Pertanian Bogor. Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian. 2005. Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan
Kehutanan. Jakarta. hlm. 56.
Kurnia, U. dan Suwardjo. 1984. Kepekaan erosi beberapa jenis tanah di Jawa
menurut metode USLE. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 17-20.
Kurnia, U., H. Suganda, D. Erfandi, dan H.
Kusnadi. 2004. Teknologi konservasi tanah pada budi daya sayuran dataran
tinggi. hlm. 133-150. Dalam Kurnia et. al. (Ed.). Teknologi Konservasi Tanah
pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
Lal, R. 1985. Soil erosion and its relation to productivity in tropical
soils. p. 237- 247. In S.A. El-Swaifi, W.C. Moldenhauer, and A. Lo (Eds.). Soil Erosion and
Conservation. USA.
Langdale, G.W., J.E. Box Jr, R.A. Leonard, A.P. Barnet, and W.G. Fleming.
1979. Corn yield reduction on eroded Southern Piedmont Soils. J. Soil and Water
Conservation 34(1): 226-228.
Mangundikoro, A. 1985. Watershed management in Indonesia. Proc. of the
Symposium on Watershed and Conservation for Productive and Protective Uplands
in ASEAN Region. College, Laguna, Philippines, 25-29 June 1984.
Margrath, W.B. and P. Arens. 1989. The Cost of Soil Erosion in Java: A
natural resources accounting approach. Environment Dep. Working Paper 18, 1989.
World Bank.
Musa, S. dan I. Parlan. 2002. The 1997/1998 forest fire experience in
Peninsular Malaysia. Workshop on Prevention and Control of Fire in Peatland.
Kuala Lumpur, Malaysia, 19-21 March 2002. p. 8.
Partosedono, R.S. 1977. Effects of Man’s Activity on Erosion in Rural
Environments and Feasibility Study for Rehabilitation. Publ. 113: 53-54. Paris.
IAHS AISH. Parish, F. 2002. Peat-lands, biodiversity and climate change in SE
Asia, an overview. Workshop on Prevention and Control of Fire in Peatlands.
Kuala Lumpur, Malaysia, 19-21 March 2002. p. 11.
Santoso, D., J. Purnomo, I.G.P. Wigena dan E. Tuherkih. 2004. Teknologi
konservasi tanah vegetatif. hlm. 77-108. Dalam Kurnia et. al. (Eds): Teknologi
Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Soemarwoto, O. 1974. The soil erosion problem in Java. p. 361-364. Proc.
First International Congress of Ecology. The Hague.
Soeyitno, J. dan A.N. Ardiwinata. 1999. Residu pestisida pada agroekosistem
tanaman pangan. Dalam Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi GRK dan Peningkatan
Produksi Padi di Lahan Sawah Menuju Sistem Produksi Padi Berwawasan Lingkungan.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Subagyo, H., N. Suharta dan A.B.Siswanto 2000. Tanah-tanah pertanian di
Indonesia. hlm. 21-66. Dalam Abdurachman et.al. (Ed.). Sumberdaya Lahan
Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat, Bogor. Suwardjo, 1981 Peranan Sisa-sisa Tanaman dalam Konservasi
Tanah pada Usahatani Tanaman Semusim. Disertasi. Institut Pertanian Bogor.
Tim Peneliti Baku Mutu Tanah. 2000. Pengkajian Baku Mutu Tanah pada Lahan
Pertanian. Laporan Akhir kerja sama antara Proyek Pengembangan Penataan
Lingkungan Hidup Bappeldada Jakarta dan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
No. 50/Puslittanak.
Winoto, J. 2005. Kebijakan pengendalian alih fungsi tanah pertanian dan
implementasinya. Seminar Penanganan Konversi Lahan dan Pencapaian Lahan
Pertanian Abadi. Bogor. hlm. 8.
Wischmeier, W.H. and D. Smith. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses. A
Guide to Conservation Planning. USDA Agric. Hand Book 537, Washington
DC.