Latar Belakang
Ketergantungan
manusia terhadap sumberdaya tanah terus meningkat. Hal ini menyebabkan
terjadinya peningkatan tekanan penduduk terhadap lingkungan tanpa memperhatikan
kemampuan lingkungan itu sendiri. Keadaan ini akan mendorong kemerosotan
sumberdaya tanah baik mutu maupun jumlahnya. Gejala fisik yang nampak jelas di
tempat kejadian (on site) adalah semakin tipisnya lapisan tanah,
sehingga kemampuan fungsi tanah sebagai media tumbuh tanaman dan media pengatur
daur air menjadi terbatas yang pada akhirnya kemunduran kemampuan lingkungan
tidak dapat terhindarkan.
Beberapa fungsi tanah yang dapat dikemukakan yaitu antara lain sumber unsur hara, sumber air, penyedia udara, landasan tumbuh bagi tanaman, tempat hidup bagi hewan dan manusia, tempat dikuburkannya manusia, sebagai bahan urugan perumahan dan jalan, tempat mendirikan bangunan, sanitasi lingkungan (penyaring, penyangga, dan alihrupa), dan bahan pembuat manusia pertama (Adam). Sebagian dari fungsi tanah tersebut yaitu sumber unsur hara, sumber air, penyedia udara, dan landasan tumbuh bagi tanaman lebih berorientasi pada media tumbuh tanaman (pertanian), sehingga di sini pembahasannya ditekankan pada hal-hal tersebut.
Dalam
Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH) No.23 Tahun 1997 Bab II Pasal
3 dinyatakan bahwa: "Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan
dengan asas tanggung jawab negara, asas berkelanjutan, dan asas manfaat
bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
hidup dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan
masyarakat Indonesia seluruhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa". Sedangkan dalam penjelasannya dinyatakan bahwa: "... Asas
berkelanjutan mengandung makna setiap orang memikul kewajibannya dan tanggung
jawab terhadap generasi mendatang, dan terhadap sesamanya dalam satu generasi.
Untuk terlaksananya kewajiban dan tanggung jawab tersebut, maka kemampuan
lingkungan hidup harus dilestarikan. Terlestarikannya kemampuan lingkungan
hidup menjadi tumpuan terlanjutkannya pembangunan". Karena itu, dalam
mengelola sumberdaya alam harus diupayakan untuk melestarikan kemampuan
lingkungan.
Namun
demikian, lingkungan hidup yang lestari tentunya tidak mungkin diwujudkan
secara fisik, tetapi yang dapat dilestarikan hanyalah fungsi dari lingkungan
hidup itu sendiri. Hal ini sesuai dengan bunyi UULH No.23 Tahun 1997 Bab I
Pasal 1 yaitu bahwa: "Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu
untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan,
pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan
pengendalian lingkungan hidup".
Sumberdaya
alam yang utama adalah air dan tanah. Salah satu faktor yang turut mempercepat
kemerosotan kemampuan sumberdaya alam yaitu terjadinya erosi. Timbulnya erosi
akan menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pengendali tata
air, media pertumbuhan tanaman yang nantinya akan berpengaruh pula terhadap
makhluk hidup yang memanfaatkannya.
Sebagian
besar daerah-daerah di Indonesia yang beriklim tropika mempunyai rata-rata
curah hujan dan intensitas hujan yang relatif tinggi serta didukung kondisi
topografi yang berbukit-bukit merupakan salah satu pemacu timbulnya proses
erosi. Bahaya erosi ini akan semakin mengkhawatirkan, apabila di dalam
mengelola sumberdaya alam tanpa memperhatikan kaidah konservasi sumberdaya alam
khususnya sumberdaya tanah, sehingga secara langsung maupun tidak langsung akan
berpengaruh terhadap kelestarian kemampuan fungsi lingkungan. Upaya pelestarian
ini salah satunya adalah melalui pengendalian erosi tanah di setiap tipe
penggunaan lahan (Rahim, S.E., 1995). Untuk itu usaha pengendalian erosi secara
tepat perlu dilakukan dalam upaya melestarikan kemampuan fungsi lingkungan.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Erosi
Erosi
merupakan suatu proses hilangnya lapisan tanah, baik disebabkan oleh pergerakan
air maupun angin (Foth, 1995, halaman 665-666). Di daerah beriklim tropika
basah, seperti sebagian besar daerah di Indonesia, air hujan merupakan penyebab
utama terjadinya erosi sehingga di sini pembahasannya dibatasi erosi tanah yang
disebabkan oleh air.
Menurut
Arsyad S. (1989, halaman 30), erosi adalah peristiwa pindahnya atau
terangkutnya tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain
oleh media alami. Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian-bagian tanah dari
suatu tempat terkikis dan terangkut yang kemudian diendapkan pada suatu tempat
lain. Pengangkutan atau pemindahan tanah tersebut terjadi oleh media alami
yaitu antara lain air atau angin. Erosi oleh angin disebabkan oleh kekuatan
angin, sedangkan erosi oleh air ditimbulkan oleh kekuatan air.
Kekuatan
perusak air yang mengalir di atas permukaan tanah akan semakin besar dengan
semakin panjangnya lereng permukaan tanah. Tumbuhan-tumbuhan yang hidup di atas
permukaan tanah dapat memperbaiki kemampuan tanah menyerap air dan memperkecil
kekuatan butir-butir perusak hujan yang jatuh, serta daya dispersi dan angkutan
aliran air di atas permukaan tanah. Perlakuan atau tindakan-tindakan yang
diberikan manusia terhadap tanah dan tumbuh-tumbuhan di atasnya akan menentukan
kualitas lahan tersebut.
Berdasarkan
asasnya dapat disimpulkan bahwa erosi merupakan akibat interaksi antara
faktor-faktor iklim, topografi, tumbuh-tumbuhan, dan campur tangan manusia
(pengelolaan) terhadap lahan, yang secara deskriptif dinyatakan dalam persamaan
seperti di bawah ini :
E = f (i, r, v, t, m)
E =
besarnya erosi,
i =
iklim,
r =
topografi,
v =
tumbuh-tumbuhan,
t =
tanah,
m =
manusia.
Persamaan
tersebut di atas mempunyai makna dua jenis peubah, yaitu: 1) Faktor yang dapat
diubah oleh manusia, seperti; tumbuh-tumbuhan, sifat-sifat tanah, dan satu
unsur topografi yaitu panjang lereng, 2) Faktor yang tidak dapat diubah oleh
manusia yaitu; iklim, tipe tanah, dan kecuraman lereng.
Dampak Erosi
Secara
garis besar kerusakan yang timbul akibat adanya erosi tanah yaitu penurunan
kesuburan tanah dan timbulnya pendangkalan akibat proses sedimentasi (Wudianto
R., 1989, halaman 11 - 13).
Tanah
yang subur umumnya terdapat pada lapisan tanah atas atau permukaan (top soil),
sedang lapisan tanah bawah (sub soil) dapat dikatakan kurang subur.
Apabila terjadi hujan dan dapat menimbulkan erosi, maka lapisan tanah ataslah
yang akan terkikis kemudian terbawa oleh aliran air. Dengan terangkutnya
lapisan tanah atas, maka tertinggal lapisan tanah bawah yang kurang subur.
Kemudian jika tanah tersebut ditanami, maka tanaman tidak akan dapat tumbuh
subur dan hasilnya akan berkurang. Dengan berkurangnya hasil panen akan
mengurangi pendapatan petani.
Seperti
telah dijelaskan di atas bahwa proses terjadinya erosi adalah terkikisnya
butir-butir tanah, kemudian dengan adanya aliran air butir-butir tanah
terangkut sampai tidak mampu lagi mengangkut butir-butir tanah, maka tanah
tersebut diendapkan. Pengendapan ini akan terjadi pada daerah yang lebih
rendah, misalnya: sungai, waduk, saluran-saluran pengairan dan laut.
Pengendapan
di sungai akan mengakibatkan pendangkalan yang dapat mengurangi kemampuan
sungai untuk menampung air sehingga pada musim penghujan biasanya akan terjadi
banjir. Pendangkalan sungai dapat mengganggu lalu lintas pelayaran kapal.
Seperti diketahui bahwa sejarah telah membuktikan dulu sungai-sungai di Jawa
masih dapat dilewati kapal, namun sekarang sudah tidak ada lagi sehingga
tinggal sungai-sungai yang ada di luar pulau Jawa yang dapat dilalui
kapal-kapal.
Sebagai
akibat pendangkalan sungai ini dapat merembet ke laut, karena aliran air sungai
bermuara ke laut. Sekarang banyak pelabuhan yang mengalami pendangkalan. Dengan
terjadinya pendangkalan di pelabuhan, maka kapal-kapal besar akan mengalami
kesulitan untuk merapat.
Pendangkalan
di waduk juga sulit untuk dihindarkan. Dengan makin dangkalnya waduk dapat
mengurangi umur waduk. Artinya, daya guna waduk yang semula diperkirakan dapat
lama, ternyata baru beberapa tahun saja sudah tidak berfungsi lagi. Sebagai
contoh waduk Gajah Mungkur di Wonogiri, Jawa Tengah. Waduk ini diperkirakan
dapat mencapai umur 100 tahun ternyata setelah diteliti karena adanya
sedimentasi maka hanya dapat mencapai lebih kurang 27 tahun.
Menurut
Arsyad (1989, halaman 3 - 4), dampak erosi tanah terhadap lingkungan dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu bentuk dampak langsung maupun tidak langsung
yang dikaji di tempat kejadian erosi maupun di luar tempat berlangsungnya
erosi, seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel
1. Dampak Erosi Tanah.
Bentuk
Dampak
|
Dampak
di Tempat Kejadian
|
Dampak
di Luar Tempat
|
Erosi
|
Kejadian
Erosi
|
|
1.
Langsung
|
-
Kehilangan lapisan tanah yang baik bagi berjangkarnya akar tanaman
|
-
Pelumpuran dan pendangkalan waduk, sungai, saluran dan badan air lainnya
|
-
Kehilangan unsur hara dan kerusakan struktur tanah
|
-
Tertimbunnya lahan pertanian, jalan dan bangunan lainnya
|
|
-
Peningkatan penggunaan energi untuk produksi
|
-
Menghilangnya mata air dan memburuknya kualitas air
|
|
-
Kemerosotan produktivitas tanah atau bahkan menjadi tidak dapat dipergunakan
untuk berproduksi
|
-
Kerusakan ekosistem perairan (tempat bertelur ikan, terumbu karang dan
sebagainya)
|
|
-
Kerusakan bangunan konservasi dan bangunan lainnya
|
-
Kehilangan nyawa dan harta oleh banjir
|
|
-
Pemiskinan petani penggarap/ pemilik tanah
|
-
Meningkatnya frekuensi dan masa kekeringan
|
|
2.
Tidak Langsung
|
-
Berkurangnya alternatif penggunaan tanah
|
-
Kerugian oleh memendeknya umur waduk
|
-
Timbulnya dorongan/ tekanan untuk membuka lahan baru
|
-
Meningkatnya frekuensi dan besarnya banjir
|
|
-
Timbulnya keperluan akan perbaikan lahan dan bangunan yang rusak
|
Sumber:
Arsyad S. (1989)
Mengingat
bahaya erosi yang merugikan bagi lingkungan, sejak beberapa tahun yang lampau
manusia telah menyadari dan melakukan berbagai usaha pencegahan (pengendalian)
erosi.
Klasifikasi Erosi Tanah
Atas
dasar intensitas campur tangan manusia, erosi dibedakan antara erosi alami atau
erosi geologi (geological erosion) dan erosi dipercepat (accelarated
erosion) (Arsyad S., 1989, halaman 30). Erosi geologi terjadi secara alami
pada tanah yang masih tertutup vegetasi secara alami, dan biasanya berjalan
sangat lambat. Dalam kondisi seperti ini, jumlah tanah terangkut sangat
sedikit, dan baru akan meningkat jika terjadi bencana alam yang berakibat tanah
jadi terbuka. Erosi dipercepat terjadi karena manusia membuka tanah dengan
membuang vegetasi baik sebagian maupun seluruhnya, yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya (tempat tinggal, industri, usaha tani, dan
lain-lain). Proses erosi ini akan berjalan dengan cepat, terlebih di daerah
yang mempunyai potensi erosi dan tanpa usaha pengendalian.
Erosi
yang terjadi dapat dibedakan berdasarkan produk akhir yang dihasilkan proses
itu sendiri. Erosi juga dapat dibedakan karena kenampakan lahan akibat erosi
itu sendiri. Atas dasar itu erosi dibedakan yaitu : 1) erosi percikan (splash
erosion), 2) erosi lembar (sheet erosion), 3) erosi alur (rill
erosion), 4) erosi parit (gully erosion), 5) erosi tanah longsor (land
slide), 6) erosi pinggir sungai (stream bank erosion) (Rahim S.E.,
1995, halaman 33 - 34).
Erosi
percikan terjadi pada awal hujan. Intensitas erosi percikan meningkat dengan
adanya air genangan
tetapi setelah terjadi genangandengan kedalaman tiga kali
ukuran butir hujan, erosi percikan minimum. Pada saat inilah proses erosi
lembaran dimulai. Erosi lembar akan dapat ditemukan secara jelas di daerah yang
relatif seragam permukaannya.
Erosi
alur dimulai dengan adanya konsentrasi limpasan permukaan. Konsentrasi yang
besar akan mempunyai daya rusak yang besar. Bila ukuran alur sudah sangat
besar, tidak dapat dihilangkan hanya dengan melakukan pembajakan biasa, atau
alur tersebut berhubungan langsung dengan saluran pembuangan utama, maka erosi
yang terjadi telah memenuhi kategori erosi parit. Sedangkan erosi tanah longsor
ditandai dengan bergeraknya sejumlah massa tanah secara bersama-sama. Hal ini
disebabkan karena kekuatan geser tanah sudah tidak mampu untuk menahan beban
massa tanah jenuh air di atasnya. Kejadian ini terutama terjadi pada lapisan
tanah atas dangkal yang terletak lepas di batuan atau lapisan tanah tidak
tembus air (impermeable). Adapun erosi pinggir sungai yang mirip erosi
tanah longsor mengikis pinggir sungai-sungai yang karena sesuatu hal mengalami
longsor terutama bila pinggir sungai itu vegetasi alaminya ditebang dan diganti
dengan tanaman baru.
Batas Toleransi Erosi
Sebagai
sumber daya yang banyak digunakan, tanah dapat mengalami pengikisan (erosi)
akibat bekerjanya gaya-gaya dari agen penyebab, misalnya air hujan, angin
dan/atau hujan. Jadi, secara alamiah tanah mengalami pengikisan atau erosi
(Rahim S.E., 1995).
Erosi
dipercepat yang disebabkan oleh manusia, masih dianggap aman jika tidak
melewati suatu batas toleransi (soil loss tolerance atau permisible
erosion). Banyak pendapat para pakar erosi yang mengemukakan besarnya batas
toleransi erosi, yang masing-masing berbeda tergantung dari faktor lingkungan
di sekitarnya. Secara khusus, penelitian batas toleransi erosi untuk
tanah-tanah di Indonesia sampai saat ini belum ada. Oleh Arsyad (1989, halaman
237 - 244), dianjurkan untuk mempergunakan batas toleransi erosi yang
dikemukakan oleh Thompson (1957), seperti terlihat pada Tabel 2.
Tabel
2. Pedoman Penetapan Nilai T (batas toleransi erosi) (Thompson, 1957)
Sifat Tanah dan Substratum
|
Nilai T
|
|
Ton/acre/tahun
|
Ton/ha/tahun
|
|
1.
Tanah dangkal di atas batuan
|
0,5
|
1,12
|
2.
Tanah dalam, di atas batuan
|
1,0
|
2,24
|
3.
Tanah dengan lapisan bawahnya (subsoil) padat,
|
||
di
atas substrata yang tidak terkonsolidasi (telah
|
||
mengalami
pelapukan)
|
2,0
|
4,48
|
4.
Tanah dengan lapisan bawahnya berpermeabilitas
|
||
lambat,
di atas bahan yang tidak terkonsolidasi
|
4,0
|
8,96
|
5.
Tanah dengan lapisan bawahnya berpermeabilitas
|
||
sedang,
di atas bahan yang tidak terkonsolidasi
|
5,0
|
11,21
|
6.
Tanah yang lapisan bawahnya permeabel (agak
|
||
cepat),
di atas bahan yang tidak terkonsolidasi
|
6,0
|
13,45
|
Dengan
menggunakan kriteria yang dipergunakan oleh Thompson (1957), dengan menentukan
T maksimum untuk tanah yang dalam, dengan lapisan bawah yang permeabel, di atas
bahan (substratum) yang telah malapuk (tidak terkonsolidasi) sebesar 2,5
mm/tahun, dan dengan menggunakan nisbah nilai untuk berbagai sifat dan stratum
tanah, maka nilai T seperti tertera pada Tabel 3 disarankan untuk menjadi
pedoman penetapan nilai T tanah-tanah di Indonesia.
Tabel
3. Pedoman Penetapan Nilai T Untuk Tanah-tanah di Indonesia.
Sifat Tanah dan Substratum
|
Nilai T
|
mm/tahun
|
|
1.
Tanah sangat dangkal di atas batuan
|
0,0
|
2.
Tanah sangat dangkal di atas bahan telah melapuk (tidak terkonsolidasi)
|
0,4
|
3.
Tanah dangkal di atas bahan telah melapuk
|
0,8
|
4.
Tanah dengan kedalaman sedang di atas bahan telah melapuk
|
1,2
|
5.
Tanah yang dalam dengan lapisan bawah yang kedap air di atas substrata yang
telah melapuk
|
1,4
|
6.
Tanah yang dalam dengan lapisan bawah berpermeabilitas lambat, di atas
substrata telah melapuk
|
1,6
|
7.
Tanah yang dalam dengan lapisan bawahnya berpermeabilitas sedang, di atas
substrata telah melapuk
|
2,0
|
8.
Tanah yang dalam dengan lapisan bawah yang permeabel, di atas substrata telah
melapuk
|
2,5
|
Catatan :
Kedalaman
tanah efektif yaitu kedalaman tanah yang baik bagi pertumbuhan akar tanaman,
yaitu sampai pada lapisan yang tidak dapat ditembus akar tanaman. Kriterianya :
> 90 cm = dalam,
50 -
90 cm = sedang,
25 - 50 cm = dangkal,
< 25 cm = sangat dangkal.
25 - 50 cm = dangkal,
< 25 cm = sangat dangkal.
Persamaan USLE (Universal Soil Loss Equation)
Lahan
pertanian yang terus menerus ditanami tanpa cara pengelolaan tanaman, tanah dan
air yang baik dan tepat, terutama di daerah pertanian dengan curah hujan yang
tinggi (> 1500 mm per tahun) akan menurunkan produktivitasnya. Penurunan
produktivitas ini secara lambat atau cepat dapat disebabkan oleh menurunnya
kesuburan tanah dan terjadinya erosi (Syah, R., 1995).
Bahaya
erosi ini banyak terjadi di daerah-daerah lahan kering terutama yang memiliki
kemiringan lereng sekitar 15 persen atau lebih. Keadaan ini sebagai akibat dari
pengelolaan tanah dan air yang keliru atau penerapan pola pertanian yang tidak
sesuai dengan kemampuan fungsi lingkungannya.
Tanah
dan air merupakan dua sumber daya alam yang utama, peka terhadap berbagai
kerusakan (degradasi). Kerusakan air berupa hilangnya sumber air dan
menurunnya kualitas air antara lain disebabkan oleh proses sedimentasi yang
bersumber pada kerusakan tanah oleh erosi. Di daerah tropika basah kerusakan
tanah yang paling utama dan semakin kritis adalah disebabkan oleh erosi tanah.
Kerusakan
tanah yang kadang-kadang sampai pada tingkat kritis seperti penurunan
produktivitas tanah, banjir yang terjadi setiap tahun, merosotnya debit air
sungai di musim kemarau dan meningkatnya kandungan lumpur atau bahan organik
pada musim hujan merupakan tanda-tanda kerusakan sumberdaya alam di suatu
wilayah .
Laju
erosi yang menyatakan banyaknya lapisan tanah yang hilang dari suatu tempat
karena proses erosi, merupakan salah satu indikator kecepatan proses perusakan.
Perhitungan laju erosi dapat dilakukan secara nisbi (relatif), yaitu
berdasarkan nilai bahaya atau besarnya nilai faktor-faktor yang mempengaruhi
erosi. Perkiraan atau prediksi besarnya laju erosi yang mungkin terjadi di
lapangan dapat ditentukan antara lain dengan menggunakan metode Wischmeier dan
Smith (1978) yang dikenal dengan Persamaan Umum Kehilangan Tanah (PUKT)
atau dalam bahasa Inggris Universal Soil Loss Equation (USLE) ,
yaitu sebagai berikut :
A = R x K x L x S x C x P
A adalah banyaknya tanah tererosi (ton/ha/tahun),
R
adalah faktor curah hujan dan aliran permukaan, yaitu jumlah satuan indeks
erosi hujan, yang merupakan perkalian antara energi hujan total (E) dengan
intensitas hujan maksimum 30 menit (I30 ), tahunan,
K
adalah faktor erodibilitas (kepekaan) tanah, yaitu laju erosi per indeks erosi
hujan � untuk suatu tanah yang didapat dari
petak percobaan standar, yaitu petak percobaan yang panjangnya 22 meter (72,6
kaki) terletak pada lereng 9 % tanpa tanaman,
L
adalah faktor panjang lereng, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah
dengan suatu panjang lereng tertentu terhadap erosi dari tanah dengan panjang
lereng 22 meter (72,6 kaki) di bawah keadaan yang identik,
S
adalah faktor kemiringan/kecuraman lereng, yaitu nisbah antara besarnya erosi
yang terjadi dari suatu tanah dengan kemiringan lereng tertentu, terhadap besarnya
erosi dari tanah dengan lereng 9 % di bawah keadaan yang identik,
C
adalah faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman, yaitu nisbah
antara besarnya erosi dari suatu areal dengan vegetasi penutup dan pengelolaan
tanaman tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah yang identik tanpa tanaman,
P
adalah faktor tindakan khusus konservasi tanah, yaitu nisbah antara besarnya
erosi dari tanah yang diberi perlakuan tindakan konservasi khusus seperti
pengolahan tanah menurut kontur, penanaman dalam strip atau teras terhadap
besarnya erosi dari tanah yang diolah searah lereng dalam keadaan yang identik.
Metode Pengendalian Erosi
Usaha
pengendalian erosi pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 3 metode, yaitu :
- Metode Vegetatif
Metode
ini mempergunakan tumbuhan atau tanaman dan sisa-sisanya untuk mengurangi daya
rusak hujan yang jatuh, jumlah dan daya rusak aliran permukaan. Fungsi tumbuhan
dalam metode ini untuk : a) melindungi tanah dari daya perusak butir-butir
hujan, b) melindungi tanah dari aliran permukaan, dan c) memperbaiki kapasitas
infiltrasi tanah dan penahanan air yang akan mempengaruhi besarnya aliran
permukaan. Termasuk dalam metode vegetatif ini diantaranya; budidaya tanaman
semusim (jagung, kacang tanah, dan lain-lain) secara musiman atau tanaman
permanen, penanaman dalam strip cropping, pergiliran tanaman, sistem
pertanian hutan (agro forestry), pemanfaatan sisa tanaman.
- Metode Mekanik
Metode
mekanik adalah semua perlakuan fisik mekanis yang diberikan terhadap tanah dan
pembuatan bangunan untuk mengurangi aliran permukaan dan erosi, serta
meningkatkan kemampuan penggunaan tanah. Metode mekanik dalam pengendalian
erosi berfungsi: a) memperlambat aliran permukaan, b) menampung dan menyalurkan
aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak merusak, c) memperbaiki atau
memperbesar infiltrasi air ke dalam tanah dan memperbaiki aerasi tanah, serta
d) menyediakan air bagi tanaman. Termasuk dalam metode mekanik adalah
pengolahan tanah (tillage), pengolahan tanah menurut kontur (contour
cultivation), guludan dan guludan bersaluran menurut kontur, teras (teras
bangku, teras berlereng), dam penghambat (check dam, waduk, rorak, tanggul),
dan perbaikan drainase.
- Metode Kimiawi
Metode
kimia dalam pengendalian erosi menggunakan preparat kimia sintetis atau alami.
Metode ini sering dikenal dengan sebutan soil conditioner, yang
bertujuan memperbaiki struktur tanah. Beberapa contoh soil conditioner yaitu;
PVA (Polyvinyl alcohol), PAA (Poly acrylic acid), VAMA (Vinyl
acetate malcic acidcopolymer), DAEMA (Dimethyl amino ethyl metacrylate),
dan Emulsi Bitumen.
Sering
pula dilakukan pengendalian erosi dengan mengkombinasikan dari dua metode
pengendalian erosi atau bahkan ketiga metode tersebut di atas digunakan secara
bersamaan dalam usaha mengendalikan erosi.
Penutup
Setiap
usaha pengendalian erosi tanah mempunyai nilai keuntungan ekonomis yang
berbeda, serta mempunyai kemampuan yang berbeda pula dalam menekan laju erosi.
Selain macam tanaman, sistem pengelolaan dan metode pengendalian yang digunakan
berpengaruh terhadap besarnya laju erosi.
Dari
kenyataan ini, maka dapat disusun berbagai alternatif pemilihan usaha
pengendalian erosi tanah berdasarkan keuntungan dan risiko besarnya erosi yang
mungkin terjadi. Selanjutnya para pengelola sumberdaya (misal: petani) dapat
diarahkan agar bersedia untuk memilih tanaman dan metode pengendalian erosi
yang mampu memberi keuntungan cukup tinggi serta risiko timbulnya erosi
serendah-rendahnya.
Daftar Pustaka
Arsyad
S., 1989, Konservasi Tanah dan Air, IPB Press, Bogor.
Foth
H.D., 1995, Dasar-dasar Ilmu Tanah, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Rahim
S.E, 1995, Pelestarian Lingkungan Hidup Melalui Pengendalian Erosi Tanah,
UNSRI, Palembang.
Schwab
G.O., Richard K.F., Kenneth K.B., 1981, Soil and Water Conservation Engineering,
John Wiley & Sons, New York.
Syah
A.R., 1995, Penentuan Erosi dan Sedimentasi Pada Daerah Aliran Sungai (DAS),
Majalah Ilmiah Universitas Jambi No.45 Tahun 1995, Jambi.
Wudianto, R., 1989, Mencegah Erosi, Penebar Swadaya, Jakarta.Sumber : http://www.ut.ac.id/html/suplemen/ling1112/erosi.htm