Padi merupakan tanaman pangan pokok bagi penduduk Indonesia. Tiap tahunnya produksi
padi perlu ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang terus
bertambah. Sejarah pertanian nasional telah pernah mencatat terjadinya
peningkatan produksi padi yang sangat tinggi hingga 276%, yaitu dari 13,6
juta ton pada 1966 menjadi 51,2 juta ton pada 1996 (Khush dan Virk, 2002).
Tingginya produksi, yang diperoleh petani setelah mengadopsi teknologi
revolusi hijau, ternyata bermata ganda. Pasokan beras yang memadai dan datang
tepat pada waktunya merupakan salah satu sisi positifnya, karena banyak jiwa
manusia telah terhindar dari bahaya kelaparan dan kematian. Di sisi yang lain
ditemukan akibat yang merusak yang waktu itu (1970-an) belum sepenuhnya
diperhitungkan. Pertanaman varietas-varietas padi unggul generasi pertama,
seperti PB5, PB8 dan beberapa nomor sesudahnya pada hakekatnya telah mengubah
ekosistem pertanian yang ada. Suatu hal yang pada periode sebelumnya jarang
terjadi, karena varietas lokal yang banyak ditanam petani diyakini mampu
menjaga keseimbangan genetik pada agroekosistem setempat.
Bertahun-tahun pascaintroduksi
varietas unggul dan penerapan yang intensif teknik bercocok-tanam modern
menyebabkan terjadinya perubahan mendasar pada iklim mikro di bawah kanopi
tanaman padi (Azzam dan Chancellor, 2000; Hibino, 1996). Perubahan itu
terjadi di suatu hamparan yang sangat luas bagai ”petri dish” raksasa
yang memberikan sumber kehidupan yang berlimpah untuk berbagai jenis
organisme dan mikroba; tak terkecuali serangga hama yang juga merupakan
vektor penyakit virus padi, antara lain wereng hijau (Nephotettix
virescens Distant) dan wereng batang coklat (Nilaparvata lugens
Stal).
Sejak saat itu penyakit virus padi
telah muncul, berkembang berlipat ganda dan datang silih berganti satu
setelah yang lain. Tiga dari 15 jenis penyakit virus padi dunia (Hibino,
1996) dilaporkan menyerang tanaman dan merugikan hasil panen padi di berbagai
daerah di Indonesia, yaitu penyakit tungro (Ou, 1965; Rivera et al.,
1967), penyakit kerdil rumput (Tantera et al., 1973) dan penyakit
kerdil hampa (Hibino et al., 1977; Palmer et al., 1978). Hibino
(1996) juga melaporkan penyebaran dan epidemi tiga penyakit tersebut di
negara-negara Asia lainnya, sehingga pada tahun 1970-an dan 1980-an boleh
dikatakan telah terjadi pandemi. Selain virus-virus padi, wereng hijau
diketahui dapat pula menularkan fitoplasma penyebab penyakit kerdil kuning (rice
yellow dwarf disease) (Satomi et al., 1978) dan penyakit daun
jingga (rice orange leaf disease) (Hibino et al., 1980). Akan
tetapi sejak penerbitan buku padi 1990 belum ada tambahan informasi yang
signifikan dan nilai ekonomisnya dapat diabaikan, maka bagi yang membutuhkan
informasinya dapat merujuk pada terbitan itu.
PENYAKIT
TUNGRO
Etiologi
Tungro merupakan penyakit padi
yang kompleks, disebabkan oleh dua jenis virus yang secara taksonomis berbeda
satu dengan lainnya, yaitu virus batang tungro padi (rice tungro
bacilliform virus, RTBV) dan virus bulat tungro padi (rice tungro
spherical virus, RTSV) (Hibino et al., 1991; Jones et al.
1991). Kedua virus ditularkan secara semi persisten oleh beberapa spesies
wereng hijau dan wereng daun lainnya (Ling, 1969; Hibino et al.,
1978).
RTBV berbentuk batang dan
berukuran (150-350) x 35 nanometer (nm) (Hibino et al., 1978; Hibino et
al., 1991). Tiap partikel virus mempunyai asam deoksiribonukleat berutas
ganda (double-stranded deoxyribonucleic acid, ds-DNA) yang melingkar dan
dengan besaran genom kurang lebih 8,5 kpb (kilopasangbasa). Karena cara
replikasinya dengan transkripsi terbalik, RTBV merupakan pararetrovirus.
Pernah ditetapkan sebagai anggota dari genus badnavirus (Hull, 1996),
tetapi RTBV kini digolongkan dalam kelompok sementara “RTBV-like group”
di bawah famili Caulimoviridae (Mayo dan Pringle, 1998). Laporan hasil
penelitian jaringan tanaman padi yang terinfeksi virus-virus tungro dengan
menggunakan elektron mikroskop (Sta Cruz et al., 1993) menunjukkan
bahwa partikel RTBV dapat ditemukan di dalam pembuluh tapis (floem) maupun
dalam pembuluh kayu (silem).
RTSV berbentuk bulat dengan garis
tengah 30 nm (Hibino et al., 1991; Jones et al., 1991). Paket
genetik virus ini terdiri atas asam ribonukleat berutas tunggal (single-stranded
ribonucleic acid, ss-RNA) yang mengandung poly-A dan berukuran 12 kb
(kilobasa). Menurut Mayo dan Pringle (1998), RTSV mempunyai genus Waikavirus
dan di bawah famili Sequiviridae; tatanamanya ialah rice tungro spherical
waikavirus. Berdasarkan kesamaan fiturnya dengan “animal
picornavirus”, maka virus ini pun dikenal sebagai pikornavirus tanaman.
Berbeda dengan RTBV, partikel RTSV ditemukan terbatas di dalam pembuluh tapis
(floem) saja (Sta Cruz et al., 1993).
RTBV dan RTSV tidak ditularkan
melalui telur serangga vektornya, dan juga tidak dapat menular melalui biji,
tanah, air dan secara mekanis (misal pergesekan antara bagian tanaman yang
sakit dengan yang sehat) (Ling, 1969). RTBV dan RTSV mempunyai beberapa
vektor dari spesies wereng hijau Nephotettix cinticeps, N. malayanus, N.
nigropictus, N. virescens, dan N. parvus serta wereng loreng Recilia
dorsalis; dibandingkan dengan spesies lainnya N. virescens Distant
merupakan vektor yang paling efisien (Ling, 1972). N. virescens
bertelur dalam kelompok hingga berjumlah 44 dan diletakkan di dalam jaringan
pelepah daun tanaman padi (Cheng dan Pathak, 1971). Daur hidup wereng
hijau dari fase bertelur, menetas, menjadi nimfa (pradewasa) dengan lima
stadia, hingga dewasa membutuhkan waktu rata-rata 25 hari, sehingga mungkin
ditemukan 11 generasi di daerah yang ditanami padi sepanjang tahun.
Nimfa N. virescens dilaporkan
tidak menularkan virus-virus tungro setelah ganti kulit, tetapi kemampuannya
itu akan datang kembali setelah mencucuk dan mengisap cairan tanaman sakit
(makan perolehan/akuisisi virus). Waktu yang dibutuhkan serangga ini untuk
menularkannya sangat singkat di mana waktu minimum untuk makan akuisisi dan
makan inokulasi (penularan virus pada tanaman sehat), masing-masing lima dan
tujuh menit. Walaupun dapat bertahan dalam tubuh vektor dua hingga enam hari
(masa retensi), virus-virus tungro tidak terbukti masuk dan mengikuti
sirkulasi darah vektor; hubungan virus-vektor demikian disebut nonsirkulatif.
Para peneliti menganggap bahwa virus-virus yang tergolong nonpersisten atau
semipersisten menghuni atau menempel pada bagian alat mulut (cucuk) serangga
vektor atau ”stylet-born” (Hibino, 1995). Hasil penelitian terkini
pada caulimovirus, anggota dari famili Caulimoviridae, menunjukkan
bahwa antara protein virus P2 dan reseptor dari sel vektor berinteraksi di
bagian ujung dari cucuknya (Uzest et al., 2007). Lebih lanjut
disebutkan bahwa situs pengikatan protein itu sangat spesifik dan tidak
ditemukan pada serangga nonvektor. Di masa yang akan datang penelitian
tentang hubungan virus-vektor ini diharapkan dapat membuka tabir ilmiah dan
memfasilitasi perakitan teknik pengendalian tungro yang lebih efektif.
Interaksi
Virus-Vektor-Inang
Di dalam patosistem tungro, RTBV
dan RTSV, N. virescens dan tanaman padi berinteraksi secara spesifik
dan unik (Hibino, 1995). Tanaman padi merupakan inang utama virus-virus
tungro dan N. virescens. Varietas padi yang rentan dapat terinfeksi
ganda (RTBV + RTSV), tetapi pada varietas yang agak tahan ditemukan juga
tanaman yang terinfeksi tunggal, baik oleh RTBV ataupun RTSV. Hal ini
menunjukkan bahwa replikasi kedua virus tidak saling bergantung antara satu
dengan lainnya. RTSV dapat ditularkan langsung oleh wereng hijau dari tanaman
yang terinfeksi tunggal (RTSV) atau dari yang terinfeksi ganda. Sedangkan
penularan RTBV dilaporkan mempunyai pola yang berbeda, karena ternyata RTBV
tidak dapat langsung ditularkan oleh wereng hijau dari tanaman yang
terinfeksi RTBV saja. Setelah makan akuisisi pada tanaman terinfeksi RTSV
atau pada tanaman terinfeksi ganda, wereng hijau akan dapat menularkan RTBV.
Dalam hal ini RTSV dianggap membantu penularan oleh vektor untuk RTBV.
Kekecualian dalam sistem penularan dapat dibaca di bawah subjudul teknik
agroinokulasi.
Di dalam tanaman yang terinfeksi
tunggal (RTSV) maupun yang terinfeksi ganda telah diproduksi “helper
factor” atau “helper protein” yang mungkin disandi oleh suatu gen
dalam genom RTSV, dan protein ini tidak ditemukan pada tanaman yang
terinfeksi RTBV saja (Hibino et al., 1978). Pengetahuan ini penting
untuk diketahui, karena dapat dijadikan sebagai dasar dalam merakit strategi
pengendalian tungro, di antaranya teknik eliminasi sumber inokulum RTSV. Pada
prinsipnya RTSV membantu penyebaran tungro, sedangkan RTBV berperan dalam
menginduksi gejala tungro.
Teknik
Agroinokulasi
Dasgupta et al. (1991) dan
Sta. Cruz et al. (1999) melaporkan bahwa cara agroinokulasi dapat
digunakan dalam penularan RTBV secara independen. Caranya meliputi pengklonan
genom RTBV, perekatan klon tersebut ke dalam plasmid Ti yang diperoleh dari
bakteri Agrobacterium tumifaciens strain C58 yang telah dihapus fungsi
onkogeniknya, pengintegrasian plasmid ke dalam genom A. tumifaciens dan
perbanyakan biakan bakteri murni yang mengandung genom RTBV yang dapat
menular saja. Untuk melakukan agroinokulasi, biakan infektif diperbanyak di
dalam media cair (Luria Broth), setelah tumbuh sesuai yang dikehendaki biakan
diendapkan dan dilarutkan dalam air murni steril. Sediaan sudah siap
disuntikkan (diinokulasikan) ke pangkal batang tanaman padi muda. Tanaman uji
akan menghasilkan gejala khas tungro dan dapat dideteksi dengan cara serologi
(ELISA) atau cara molekuler (PCR). Sebagai catatan penting, pascaproses
agroinokulasi telah terjadi suatu pembentukan partikel virus, dari bahan yang
semula hanya nukleotida yang terintegrasi pada plasmid. Secara teknis cara
ini dapat digunakan untuk uji ketahanan varietas padi. Akan tetapi, selama
ini penularan dengan cara agroinokulasi pada beberapa varietas yang toleran
belum menghasilkan varietas yang terhindar dari infeksi RTBV atau semua varietas
uji tergolong tidak tahan. Kontroversi ini mungkin perlu dicermati, karena
tujuan inokulasi ialah untuk memperoleh hasil infeksi RTBV yang setara dengan
tingkat infeksi alamiah. Selain itu cara agroinokulasi hanya dapat dilakukan
dengan pengawasan ketat, yaitu dilakukan di rumah kaca yang mempunyai
fasilitas khusus (containment laboratory). Hal ini perlu ditekankan,
karena bakteri A. tumifaciens yang mengandung genom RTBV yang
merupakan hasil rekayasa genetika dianggap sangat berbahaya kalau sampai
terlepas di alam bebas.
Gejala
Penyakit Tungro
Tanaman padi yang terinfeksi
virus-virus tungro umumnya tampak kerdil dan menunjukkan adanya diskolorasi
daun yang bergradasi dari kuning hingga jingga (Ou, 1972). Sebenarnya tingkat
keparahan gejala penyakit ini sangat bervariasi bergantung pada umur tanaman,
varietas padi dan strain atau komposisi virus yang menginfeksi. Makin rentan
varietas padi dan makin muda umur tanaman terinfeksi, makin parah gejala yang
ditimbulkan, demikian pula sebaliknya. Interaksi kedua virus tungro dapat
menyebabkan gejala penyakit yang parah. Sebaliknya pada kasus infeksi tunggal
gejala yang ditimbulkan sedang-sedang saja (oleh RTBV) atau bahkan tidak
jelas, karena tanaman tampak sehat, walaupun agak kerdil (oleh RTSV) (Hibino,
1983).
Lebih lanjut Rivera and Ou (1965)
dan Ling (1969) menguraikan bahwa gejala penyakit tungro umumnya muncul
kurang lebih seminggu setelah inokulasi, dimulai dari adanya diskolorasi
kekuningan pada ujung daun muda, kemudian diikuti klorosis di antara vena daun.
Tanaman yang sakit parah mempunyai anakan sedikit, pertumbuhan akar
terhambat, sangat kerdil, dan menghasilkan panikel yang kecil dengan
bulir-bulir gabah kosong. Gejala penyakit akan persisten pada varietas yang
rentan, sedangkan pada varietas yang agak tahan gejala tidak berkembang pada
daun muda dan ada kecenderungan sehat kembali.
Serangan tungro di suatu hamparan
sawah pada umumnya terlihat berkelompok, suatu indikasi bahwa waktu infeksi
berbeda-beda. Sebaran tanaman sakit yang mengelompok dapat menyebabkan
hamparan tanaman padi terlihat seperti bergelombang karena adanya perbedaan
tinggi tanaman antara tanaman sehat dan sakit. Pada varietas yang agak tahan,
setelah petani memberikan tambahan pupuk nitrogen, pertanaman padi yang
semula sakit tampak seperti sembuh, menghijau kembali dan memberikan harapan
untuk memperoleh hasil panen, walaupun sebenarnya virus-virus tungro masih
tetap ada dan berkembang di dalamnya. Yang sering terjadi pada varietas yang
rentan, pertanaman tampak merana sampai waktu panen atau sampai ada usaha
sanitasi untuk menghilangkan sumber penyakit. Pada kasus yang lain apabila
pertanaman padi terhindar dari infeksi sampai umur dua bulan, maka
virus-virus tungro tidak akan mengakibatkan kerusakan tanaman dan kehilangan
hasil panen (Ling, 1972; Pathak, 1972).
Sejarah
dan Penyebaran Penyakit
Penyakit mentek yang telah lama
diketahui menyerang tanaman padi di Indonesia merupakan penyakit yang
sifat-sifatnya mendekati atau hampir sama dengan tungro (Ou, 1965). Outbreak
yang terjadi pada tahun-tahun 1850-an dan beberapa kali kejadian
serangan sebelum 1960-an (Van der Vecht, 1953) menunjukkan bahwa penyakit ini
telah lama berkoevolusi dengan tanaman inangnya. Hal ini didukung oleh data
tentang virus tungro dan tanaman inangnya. Virus-virus tungro memiliki banyak
strain dan di Indonesia ditemukan lebih spesifik dan jumlahnya agak lebih
banyak dibandingkan dengan yang terdapat di negara-negara Asia Tenggara
lainnya (Azzam et al., 2000a dan 2000b). Di samping itu suatu laporan
menyebutkan bahwa varietas-varietas padi lokal tahan tungro berasal dari
Indonesia, seperti Utri Merah, Utri Rajapan, dan Balimau Putih (Cabunagan and
Koganezawa, 1993). Daerah-daerah pusat kejadian penyakit dan pusat
perkembangan spesies tanaman biasanya merupakan daerah yang kaya dengan
sumber daya genetika (Leppik, 1970), misalnya sumber ketahanan terhadap
tungro. Selain itu, di Indonesia tungro dengan nama lain/daerah telah lebih
dahulu populer di daerah langganan (endemik) tungro, seperti penyakit habang
(Kalimantan), cellapance (Sulawesi Selatan), atau kebebeng (Bali).
Penyebarannya mula-mula terbatas di daerah tertentu seperti di Sulawesi
Selatan, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Utara. Pada
tahun 1980, terjadi ledakan penyakit tungro di Bali, selanjutnya meluas ke
Jawa Timur, Yogyakarta, dan Jawa Tengah.
Penyakit tungro juga terdapat di
beberapa negara tetangga seperti Filipina, Malaysia, Muangthai, dan Vietnam;
dan ditemukan juga di Cina, India, Bangladesh, Srilanka, dan Nepal. Sedangkan
di Jepang terdapat penyakit virus padi yang disebut penyakit
"Waika" yang ditemukan tahun 1978 di daerah Kyushu, wilayah Jepang
bagian Selatan. Penyakit ini disebabkan oleh virus waika yang sekerabat
dengan RTSV dan juga ditularkan oleh wereng hijau (Saito, 1979).
Teknik
Deteksi dan Diagnosis Penyakit
Di lapang/sawah, tanaman padi yang
terinfeksi virus-virus tungro seringkali memperlihatkan gejala penyakit
tungro yang jelas. Berdasarkan pengetahuan ini, hasil pengamatan gejala
penyakit dan juga ditambah dengan data populasi vektor (wereng hijau) pada
prinsipnya dapat digunakan untuk menetapkan (diagnosis) bahwa suatu tanaman
terserang virus-virus tungro. Mengingat unsur kemudahannya, metode ini banyak
digunakan, meskipun bersifat sementara. Untuk lebih menguatkan lagi dalam
penetapan penyakit, biasanya dilakukan uji penularan atau bioassay,
baik dengan menggunakan wereng hijau yang diambil dari tempat kejadian
serangan maupun yang sengaja dipelihara untuk keperluan penularan. Beberapa
kelemahan pada sistem ini, seperti jika ditemukan adanya gejala penyakit yang
tidak spesifik, karena ada penyebab lain (seperti penyakit kerdil rumput
strain 2 (Hibino, 1996) yang menghasilkan gejala seperti tungro, dan waktu
(dua minggu) yang dibutuhkan bioassay cukup lama.
Virus-virus tungro dapat juga
dideteksi dengan teknik berbasis pada kelainan fisiologis penyakit tanaman
(yodium), serologi (lateks dan enzyme-linked immunosorbent assay,
ELISA), molekuler (berbasis polymerase chain reaction, PCR) dan
mikroskop elektron (Bajet et al., 1985; Hibino, 1996; Muhsin, 1999a
dan 1999b; Takahashi et al., 1993). Deteksi dengan yodium adalah warna
hitam untuk positif dan warna coklat muda untuk negatif. Teknik ini termasuk
sederhana dan kurang spesifik. Teknik serologi seperti uji lateks, parafilm
mini ELISA, RIPA, dan ELISA bekerja berdasarkan pada afinitas antibodi yang
spesifik hanya mengikat virus-virus tungro, sehingga hasil uji ini dapat
membedakan tanaman yang terinfeksi RTSV dan RTBV. Teknik serologi ELISA
tergolong yang paling banyak digunakan untuk deteksi virus baik untuk
skrining varietas, maupun untuk studi epidemiologi, karena sensitif, relatif
cepat (hitungan jam), mudah dilakukan, bahkan untuk contoh tanaman dalam
jumlah banyak. Tingkat sensitivitasnya cukup tinggi, yaitu dapat mendeteksi
virus pada tingkat pengenceran ekstrak daun sampai 1.000 kali. Selanjutnya
tentang teknik PCR yang mempunyai cara kerja mengamplifikasi beberapa saja
potongan DNA/RNA target, kemudian mendeteksi produk PCR-nya dengan mengelektroforesis
pada gel agarose dan pengecatan etidium bromida. Dengan teknik ini
konsentrasi virus yang kecil sekalipun dapat dideteksi dan tingkat
sensitivitasnya 1.000-10.000 kali lebih teliti dari hasil ELISA. Mungkin PCR
tergolong teknik yang peka dan mahal. Teknik lain yang sangat tergantung pada
alat mikroskop elektron, ialah metode “leaf dip” ataupun metode
gabungan dengan serologi (ISEM) dapat memberikan gambaran yang lebih jelas,
karena kita dapat melihat langsung partikel virusnya.
Epidemiologi
Perkembangan penularan RTBV dan
RTSV pada tanaman padi di lapang dilaporkan oleh Hasanuddin dkk.
(1999). Tanaman padi terinfeksi RTSV terdeteksi lebih awal dari RTBV. Tanaman
sakit ini terdeteksi sejak tanaman berumur dua minggu setelah tanam (MST).
Tingkat infeksi pada saat awal hanya 10%, selanjutnya meningkat terus sampai
80% saat tanaman umur 6 MST. Tanaman terinfeksi RTBV baru terdeteksi saat
tanaman umur 4 MST. Gejala visual infeksi tungro telah jelas terlihat pada
saat kedua virus telah terdeteksi. Perkembangan komposisi virus tersebut juga
terjadi di Filipina seperti laporan Tiongco et al. (1988). Wereng
hijau yang dapat menularkan RTSV telah terdeteksi di pertanaman yang berumur
2 MST. Dengan demikian diketahui sejak awal wereng hijau imigran yang membawa
RTSV telah mampu membantu penyebaran RTBV.
Komposisi spesies wereng hijau di
lapang dapat mempengaruhi intensitas serangan virus tungro. Pergeseran
dominasi spesies ke arah spesies yang efisien penularannya, wereng hijau N.
virescens, maka potensi infeksi tungro semakin tinggi (Hibino dan
Cabunagan, 1986)
Virus tungro tidak memberikan
pengaruh negatif kepada vektor. Apabila inokulum virus sudah ada di lapang,
keberadaan tungro dipengaruhi oleh fluktuasi vektor. Dengan demikian dinamika
populasi vektor penting dipahami untuk menyusun strategi pengendalian
penyakit tungro.
Infeksi tungro dapat terjadi mulai
di persemaian. Pada stadium ini tanaman sangat sensitif terhadap infeksi
virus. Apabila infeksi terjadi pada stadia awal pertumbuhan maka gejala
tungro akan tampak pada tanaman umur 2–3 MST. Tanaman muda yang terinfeksi
merupakan sumber inokulum utama setelah padi ditanam di lapang.
Selama satu periode pertumbuhan
tanaman padi terjadi dua puncak tambah tanaman terinfeksi yaitu pada saat 4
dan 8 MST (Suzuki et al., 1992). Puncak infeksi pertama disebabkan
oleh serangga imigran pada 2 MST, sedangkan puncak infeksi kedua disebabkan
infeksi yang terjadi saat 6 MST oleh keturunan serangga imigran.
Sumber inokulum penyakit tungro
terdapat pada bibit dari ceceran gabah terinfeksi (voluntir), tanaman, ratun
serta mungkin rumput inang yang sakit. Tanaman inang tungro selain padi, yang
sudah diketahui adalah: rumput belulang (Eleusine indica), rumput
bebek atau tuton (Echinochloa colonum), jajagoan (Echinochloa
crusgali), juhun randan (Ischaemum rugosum), tapak jalak atau
rumput katelan (Dactyloctenium aegyptium), rumput asinan (Paspalum
distichum) dan padi liar. N. virescens hanya dapat berkembang
dengan baik dan menjadi penular yang efisien pada padi. N. nigropictus dapat
berkembang pada padi maupun rerumputan, meskipun berkembang dengan lebih baik
pada rerumputan. N. nigropictus dapat menularkan virus dari rerumputan
ke tanaman padi.
Dinamika
Populasi Vektor
Saat ini N. virescens
mendominasi komposisi spesies wereng hijau di Pulau Jawa dan Bali. N.
nigropictus terutama pada musim hujan kadang-kadang mendominasi komposisi
spesies wereng hijau di Kalimantan Selatan. Di beberapa kabupaten di Sulawesi
Selatan ada kecenderungan pergeseran dominasi N. virescens ke N.
nigropictus. Dalam satu musim tanam, N. virescens umumnya melewati
tiga generasi.
Pada pola I peningkatan kepadatan
populasi terjadi terus menerus dari G0 sampai G2, pola II dicirikan oleh
peningkatan kepadatan populasi hanya sekali dari G0 ke G1, sedangkan pada
pola III dari sejak G0 kepadatan populasi tidak meningkat sama sekali. Pada
pola tanam padi-padi-padi pertumbuhan kepadatan populasi sebagian besar (45%)
mengikuti pola II, sedangkan pada pola tanam
padi-bera-padi/padi-palawija-padi sebagian besar (54,4%) mengikuti pola III.
Dengan demikian pada pola padi-padi-padi pada sebagian besar kasus populasi
wereng hijau dapat berkembang sampai pertengahan pertumbuhan tanaman,
sedangkan pada pola tanam padi-bera-padi/padi-palawija-padi dari sebagian
besar kasus populasi wereng hijau tidak berkembang sama sekali.
Hasil analisis Widiarta dkk.
(1999a) dengan menggunakan analisis faktor kunci (key-factor analysis)
(Podoler and Rogers, 1975) diketahui bahwa kematian pada periode nimfa
termasuk pemencaran imago menjadi faktor kematian kunci untuk populasi wereng
hijau pada pola padi-padi-padi maupun padi-padi-bera/palawija. Analisis
menggunakan analisis tanggap bilangan (numerical respond analysis)
diketahui, pada pola tanam padi-padi-padi tidak ditemukan adanya tanggap
bilangan antara kematian nimfa dengan kepadatan populasi pemangsa, tetapi
tanggap bilangan ditemukan pada pola tanam padi-padi-bera/palawija. Hal
tersebut menunjukkan adanya perbedaan faktor yang mempengaruhi perkembangan
populasi wereng hijau antara kedua pola tanam tersebut. Pemencaran imago (dispersal)
berperan pada pola padi-padi-padi terutama yang tidak serempak tanam,
sedangkan pada pola padi-padi-bera/palawija faktor penyebab kematian (mortality)
berperan penting.
Implikasi dari pemahaman tersebut
terhadap strategi pengendalian tungro adalah pada daerah pola tanam
padi-padi-padi, dapat dilakukan dengan mengurangi kemampuan pemerolehan dan
penularan virus oleh wereng hijau sebagai komponen utama pengendalian.
Sedangkan pola tanam padi-padi-palawija/bera peran faktor penyebab
kematian wereng hijau seperti predator, parasit serta patogen khususnya jenis
jamur (jamur entomopatogen) penting dan perlu ditingkatkan perannya guna
menekan kepadatan populasi wereng hijau sebagai penyebar penyakit tungro.
Pengembangan
Komponen Pengendalian
Pengendalian penyakit tungro
dilakukan dengan mengintegrasikan komponen-komponen pengendalian dalam satu
sistem yang dikenal dengan konsep pengendalian penyakit secara terpadu. Usaha
tersebut meliputi cara bercocok tanam, penanaman varietas tahan,
menghilangkan atau mengurangi sumber virus (eradikasi), dan penggunaan
pestisida (Pathak, 1972; Sama et al., 1982; Singh, 1969; Shukla dan
Anjaneyulu, 1981). Di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, usaha pengendalian
penyakit virus tungro dilakukan dengan mengatur waktu tanam yang tepat untuk
penanaman musim hujan dan musim kering, mengadakan pergiliran varietas yang
memiliki gen tahan wereng dan menggunakan insektisida (Mochida et al.,
1975).
a. Tanam
Serempak
Tanam serempak dapat memperpendek
waktu keberadaan sumber inokulum atau waktu perkembangbiakan. Tanam serempak
mengurangi sumber tanaman sakit dan membatasi waktu berkembang biak vektor
penular patogen. Untuk mengurangi serangan penyakit tungro, tanaman serempak
dianjurkan minimal luasan 20 ha berdasarkan gradasi penyebaran penyakit
(disease gradient) dari satu sumber inokulum (Widiarta dkk.,
1997).
b. Waktu
Tanam Tepat
Tanam pada saat yang tepat
dimaksudkan untuk membuat tanaman terhindar dari serangan pada saat tanaman
peka. Waktu tanam tepat digunakan untuk mengendalikan penyakit tungro
(Sama et al., 1982 dan 1991). Tanaman padi diketahui peka terhadap
infeksi virus tungro saat tanaman berumur kurang dari satu bulan setelah
tanam. Dengan mengamati pola fluktuasi populasi wereng hijau dan intensitas
serangan tungro sepanjang tahun, akan diketahui saat-saat ancaman paling
serius oleh penyakit tungro. Waktu tanam diatur sehingga pada saat ancaman
tungro serius, tanaman sudah berumur lebih dari 1 bulan setelah tanam. Waktu
tanam tepat hanya efektif mengendalikan penyakit tungro di daerah dengan pola
tanam serempak. Waktu tanam serempak berhasil mengendalikan luas serangan
tungro di Sulawesi Selatan, namun sulit untuk diterapkan pada daerah yang
tanam padinya tidak serempak seperti di Bali. Waktu tanam yang tepat dapat
menghindarkan tanaman dari serangan wereng maupun infeksi virus tungro (Sama et
al., 1982; Yulianto dan Hasanuddin, 1997). Di Maros, penanaman padi pada
awal musim hujan (Desember–Januari) atau musim kemarau (Juni–Juli) dapat
terhindar dari serangan wereng dan tungro yang serius (Sama et al.,
1982).
c.
Varietas Tahan
Secara garis besar ketahanan
terhadap tungro dapat diklasifikasikan sebagai varietas tahan terhadap
vektor, tahan terhadap RTSV dan RTBV (Imbe, 1991; Tabel 1). Varietas tahan
tungro dapat dirakit secara konvensional, konvensional plus marka molekuler,
dan teknologi transgenik. Hasil perbaikan varietas tahan tungro pada awalnya
diketahui hanya tahan terhadap vektornya, tetapi setelah metode ELISA
diterapkan, yaitu suatu teknik yang dapat membedakan tanaman terinfeksi RTSV
dan RTBV, perakitan varietas ini dapat lebih mudah dilakukan. Varietas tahan
tungro yang sampai saat ini dilepas ke petani merupakan hasil pemuliaan dengan
teknologi tersebut. Dengan majunya bidang biologi molekuler, maka penetapan
ketahanan terhadap RTSV yang selama ini menggunakan metode inokulasi, dapat
dilakukan dengan menggunakan marka molekuler. Beberapa marka mikrosatelit,
seperti RM 10, RM 70, RM 170, RM 190, RM 336, merupakan kandidat marka yang
dapat digunakan untuk pemuliaan berbantuan marka.
Teknologi transgenik, yaitu dengan
mengintroduksi gen asing ke dalam tanaman padi. Di laboratorium Dr. R. Beachy
(Amerika Serikat) gen asing seperti yang menyandi selubung protein dan yang
menyandi replikase dari RTSV telah digunakan untuk merakit galur-galur padi
tahan RTSV. Dalam uji ketahanan di laboratorium, galur-galur tersebut
dilaporkan tahan terhadap RTSV (Huet et al., 1999; Sivamani et al.,
1999). Sedangkan galur padi transgenik yang dirakit dengan tujuan tahan
RTBV, ternyata pada uji penularan belum menunjukkan ketahanan yang
diinginkan (Azzam et al., 1999). Hal ini berkaitan dengan adanya
kendala yang belum sepenuhnya dapat dijelaskan. Dengan teknologi transgenik
pula para peneliti di India telah memanfaatkan gen yang menyandi zat toksik
terhadap serangga hemiptera, yaitu lektin sebagai transgen untuk memperoleh
tanaman padi tahan tungro (Saha et al., 2006). Penelitian ini
menghasilkan galur padi transgenik tidak saja tahan vektor tungro, juga
mempunyai sifat yang dapat mereduksi titer virus RTBV dan RTSV; akan tetapi
belum ada laporan yang mengonfirmasi lebih lanjut tentang keberhasilan
penanaman varietas padi dari jenis ini.
Varietas padi yang tahan wereng
hijau dikelompokkan berdasarkan sumber gen-tetua tahannya menjadi T1, T2, T3,
dan T4 (Sama et al., 1982 dan 1991) (Tabel 2). Anjuran penggunaan
varietas tahan wereng hijau sebagai berikut: di Jawa Barat dapat
ditanam varietas tahan golongan T1, T2, dan T4; di Jawa Tengah semua golongan
varietas tahan; di Yogyakarta varietas tahan dari golongan T2 dan T4; di Jawa
Timur dan Bali hanya dianjurkan varietas tahan golongan T4; dan di NTB
dianjurkan untuk menanam varietas tahan virus.
Sumber Ketahanan Terhadap
Virus-virus Tungro.
Sumber Ketahanan
|
Reaksi Terhadap
|
Gen Tahan
RTSV pada NIL
|
RTSV
|
RTBV
|
N. virescens
|
ARC
115554
|
R
|
T
|
R
|
1 dominan
|
Balimau
Putih
|
S
|
T
|
S
|
|
Utri
Merah (16680)
|
R
|
T
|
S
|
1 resesif
|
Utri
Merah (16682)
|
R
|
T
|
S
|
1 resesif
|
Habiganj
DW8
|
R
|
T
|
S
|
1 resesif
|
Utri
Rajapan
|
R
|
T
|
S
|
1 resesif
|
Oryza
rufipogon
|
R
|
T
|
R
|
1 resesif
|
O.
longistaminata
|
R
|
T
|
R
|
1 resesif
|
O.
officinalis
|
?
|
T
|
R
|
1 resesif
|
R = tahan; S = rentan; T =
toleran.
Sumber: Choi, 2004
Varietas Tahan Wereng Hijau untuk
Mengendalikan Penyakit Tungro
Golongan
|
Varietas
|
Gen tahan
|
T0
|
IR5,
Pelita, Atomita, Cisadane, Cikapundung, Lusi
|
-
|
T1
|
IR20,
IR30, IR26, IR46, Citarum, Serayu
|
Glh1
|
T2
|
IR32,
IR38, IR36, IR47, Semeru, Asahan, Ciliwung, Krueng Aceh, Bengawan Solo
|
Glh
6
|
T3
|
IR50,
IR48, IR54, IR52, IR64
|
Glh
5
|
T4
|
IR66,
IR70, IR72, IR68, Barumun, Klara.
|
Glh
4
|
Lima varietas padi tahan tungro
yang telah dilepas: Tukad Petanu, Tukad Unda, Tukad Balian, Kalimas, dan
Bondoyudo (Widiarta dan Daradjat, 2000) dengan kesesuaian seperti pada Tabel
3. Tukad Petanu dapat dianjurkan untuk seluruh daerah endemis, sedangkan varietas
Tukad Unda dianjurkan untuk ditanam di NTB dan di Sulawesi Selatan. Varietas
Tukad Balian, dianjurkan untuk ditanam di Bali dan di Sulawesi Selatan.
Kalimas dan Bondoyudo diketahui tahan di Jawa Timur. Selain di Jawa Timur
Bondoyudo dapat ditanam di Bali dan Sulawesi Selatan.
Pewilayahan Kesesuaian Varietas
Tahan Virus Tungro
Varietas
|
Kesesuaian di
|
Jabar
|
Jateng
|
Jatim
|
Bali
|
NTB
|
Sulsel
|
Tukad
Petanu
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
+
|
Tukad
Unda
|
-
|
-
|
-
|
-
|
+
|
+
|
Tukad
Balian
|
-
|
-
|
+
|
+
|
-
|
+
|
Bondoyudo
|
-
|
-
|
+
|
+
|
-
|
+
|
Kalimas
|
-
|
-
|
+
|
-
|
-
|
-
|
+ = sesuai (tungro < 50%) ; - =
tidak (tungro > 50%)
Sanitasi, gulma, ratun, dan
ceceran gabah saat panen yang tumbuh (voluntir) dapat menjadi inang
serangga maupun patogen pada saat tanaman padi tidak ada di pertanaman.
Wereng coklat hanya dapat berkembang dengan baik pada tanaman padi, ratun dan
voluntir. Wereng hijau spesies N. virescens yang paling efisien
sebagai vektor tungro juga hanya dapat melengkapi daur hidupnya dengan baik
pada tanaman padi. Sedangkan wereng hijau spesies lainnya seperti N.
nigropictus dan N. malayanus berkembang baik pada gulma. Virus
tungro di samping dapat menginfeksi padi, juga bisa ditularkan oleh wereng
hijau kepada gulma (Yulianto dan Hasanuddin, 1997). Keberadaan gulma dan
ketiga spesies wereng hijau tersebut menyebabkan penyakit tungro endemis di
lokasi tersebut. Pada saat tidak ada tanaman padi, ratun atau voluntir,
virus tungro bertahan pada gulma. Wereng N. nigropictus dan N.
malayanus menularkan virus pada gulma dan pada saat mulai ada tanaman
padi menularkannya ke tanaman padi. Virus pada tanaman padi disebarkan
kembali oleh N. virescens sehingga penyakit tungro dapat bertahan
terus. Menghilangkan gulma, ratun dan voluntir akan mengurangi sumber
inokulum pada awal pertumbuhan tanaman. Disarankan petani membuat persemaian
setelah lahan dibersihkan atau tanam padi dengan cara tabur benih langsung
(tabela). Pada cara tanam padi dengan tabela, lahan dibersihkan dan diratakan
terlebih dahulu sebelum benih ditabur. Dengan demikan inokulum tungro
khususnya telah berkurang pada awal pertumbuhan tanaman. Tabela akan lebih
efektif mengurangi serangan tungro bila dilakukan serempak minimal 20 ha.
Tabela yang dilakukan tidak serentak sehamparan akan menjadikan tanaman padi
yang ditanam paling lambat mendapat akumulasi vektor maupun inokulum tungro.
Di beberapa daerah di Sulawesi Selatan telah mempraktekkan tabela, namun
karena waktu tabur yang tidak bersamaan, serangan tungro tetap meluas.
d. Tanam
Jajar Legowo
Tanam jajar legowo menyebabkan
kondisi iklim mikro di bawah kanopi tanaman kurang mendukung perkembangan
patogen. Pada tanaman padi dengan sebaran ruang legowo, wereng hijau kurang
aktif berpindah antar rumpun, sehingga penyebaran tungro terbatas (Widiarta
dkk., 2003). Tikus lebih senang memakan tanaman yang berada di tengah
petakan. Pada padi yang ditanam jajar legowo, tikus kurang betah untuk
memakan tanaman. Begitu juga serangan penyakit hawar daun bakteri berkurang.
Pengairan
Pengeringan sawah dapat
meningkatkan kematian nimfa wereng coklat. Akan tetapi bila tanaman padi
terserang penyakit tungro, pengeringan sawah akan mendorong wereng hijau
untuk berpindah tempat. Pengeringan sawah yang terkena tungro akan
mempercepat penyebaran penyakit.
Patogen
Patogen menginfeksi serangga (entomopathogent)
sehingga menyebabkan kematian pada serangga. Patogen serangga ada tiga jenis
yaitu jamur, bakteri dan virus. Patogen dari jenis jamur yang telah
dikembangkan untuk mengendalikan wereng coklat, wereng hijau serta
lembing batu adalah Metarhizium dan Bauveria. Jamur
entomopatogen menekan penyakit tungro dengan triple actions melalui
menekan kemampuan pemencaran wereng, secara langsung dapat mematikan,
dan secara tidak langsung dengan pengurangan keperidian betina.
e.
Pestisida
Penyemprotan pestisida dapat
menekan populasi wereng hijau yang berarti akan mengurangi kecepatan
penyebaran virus. Pestisida yang dapat digunakan untuk mengendalikan wereng
hijau ada yang dari jenis nabati dan anorganik. Bahan kimia yang dapat
membunuh serangga yang diperoleh dari ekstrak tanaman seperti tembakau, akar
tuba merupakan bahan yang sudah dikenal sejak lama sebagai pembunuh serangga.
Tanaman yang digunakan untuk mengendalikan wereng hijau (insektisida nabati)
misalnya nimba, sambilata (Mariappan dan Saxena, 1983; Widiarta dkk., 1997).
Penggunaan insektisida anorganik
sebaiknya berdasarkan pengamatan. Deteksi ancaman penyakit tungro dapat
dilakukan pada waktu persemaian dan saat tanaman berumur tiga minggu setelah
tanam. Pemantauan wereng hijau di persemaian dilakukan dengan jaring serangga
sebanyak 10 ayunan untuk mengevaluasi kerapatan populasi wereng hijau. Di
samping itu juga perlu dilakukan uji yodium untuk mengetahui intensitas
tungro pada 20 daun padi 15 hari setelah sebar. Jika hasil perkalian antara
jumlah wereng hijau dan persentase daun terinfeksi sama atau lebih dari 75,
maka pertanaman terancam tungro. Di pertanaman aplikasi insektisida dilakukan
apabila terdapat lima gejala penularan tungro dari 10.000 rumpun tanaman saat
berumur 2 MST atau satu gejala tungro dari 1.000 rumpun tanaman saat berumur
3 MST. Insektitida yang dapat digunakan antara lain adalah imidacloprid,
tiametoksan etofenproks, dan karbofuran.
|