Pendahuluan
Secara nasional pada periode 1996-2002, tungro menyerang tanaman padi rata-rata 16.477 ha sawah dan menyebabkan tanaman puso seluas 1.027 ha. Tungro telah menyebar hampir di seluruh daerah sentra produksi padi di Indonesia. Daerah endemis tungro di seluruh Indonesia dapat dipetakan berdasarkan luas dan frekuensi serangannya yaitu (1) daerah endemis, (2) sporadis, (3) potensial, dan (4) daerah aman tungro. Perkembangan penyakit tungro pada tanaman padi terjadi dua tahap.
Perkembangan penyakit tungro pada tanaman padi terjadi
dua tahap. Tahap pertama terjadi akibat infeksi di pesemaian yang ditularkan
oleh wereng hijau migran pembawa virus. Tahap kedua, terjadi bersumber dari
tanaman yang terserang pada tahap pertama. Namun, ledakan tungro terjadi
melalui suatu proses yang membutuhkan waktu, yaitu interaksi antara jumlah dan
kualitas sumber inokulum, tingkat populasi serangga penular, dan faktor
pendukung lainnya.
Kehilangan hasil karena serangan tungro bervariasi
bergantung pada saat tanaman terinfeksi, lokasi dan titik infeksi, musim tanam
dan jenis varietas. Semakin muda tanaman terinfeksi, maka semakin besar
persentase kehilangan hasil yang ditimbulkan. Kisaran kehilangan hasil pada
stadia infeksi dari 2-12 minggu setelah tanam (MST) antara 90-20%.
Dalam tulisan ini diuraikan tentang karakteristik,
epidemiologi, dinamika populasi vektor, serta usaha pengendalian terpadu
penyakit tungro yang terintegrasi dalam pendekatan pengelolaan tanaman terpadu.
PENYEBARAN TUNGRO
Di Indonesia, penyakit tungro mula-mula hanya terbatas
penyebarannya di daerah tertentu seperti di Sulawesi Selatan, Kalimantan
Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Utara. Pada tahun 1980, terjadi
ledakan penyakit tungro di Bali yang meliputi Kabupaten Badung, Tabanan, dan
Gianyar. Penyakit virus tungro selanjutnya meluas ke Jawa Timur, Yogyakarta,
dan Jawa Tengah. Pewilayahan daerah serangan penyakit virus dengan menggunakan
data SPIV yang dikumpulkan oleh pengamat-pengamat hama di Provinsi Jawa dan
Bali dari MT 1996/97 s/d MT 2000/01 diketahui bahwa penyakit tungro menyebar
paling luas pada 75 kabupaten dari 90 kabupaten yang melaporkan hasil
pengamatan penyakit virus padi.
Pada musim tanam 1969-1992 penyakit tungro dilaporkan
menginfeksi pertanaman padi di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Jawa, Nusa
Tenggara, Maluku, Irian Jaya dengan total luas tanaman terinfeksi 244.904 ha.
Sedangkan ledakan penyakit tungro yang terjadi pada akhir tahun 1995 di wilayah
Surakarta, Jawa Tengah mengakibatkan sekitar 12.340 ha sawah puso, dan nilai
kehilangan hasil akibat penyakit tersebut diperkirakan setara dengan Rp. 25
milyar. Keberadaan penyakit tungro tersebut ditemukan pula di beberapa daerah
di Jawa Barat seperti Purwakarta, Cianjur, Sukabumi, dan Bogor.
GEJALA DAN CARA MENGIDENTIFIKASI
Gejala
Penyakit tungro sudah cukup lama dikenal di Indonesia
dengan bermacam-macam nama seperti mentek, penyakit habang (di Kalimantan),
cellapance (di Sulawesi Selatan), atau kebebeng (di Bali).
Gejala utama penyakit tungro tampak pada perubahan
warna pada daun muda menjadi kuning oranye dimulai dari ujung daun, jumlah
anakan berkurang, tanaman kerdil dan pertumbuhannya terhambat. Gejala penyakit
tersebar mengelompok, hamparan tanaman padi terlihat seperti bergelombang
karena adanya perbedaan tinggi tanaman antara tanaman sehat dan yang
terinfeksi.
Intensitas serangan bergantung pada tingkat ketahanan
varietas padi dan umur tanaman pada saat terinfeksi. Tanaman muda lebih peka
terhadap infeksi dibanding tanaman tua. Gejala pertama pada umumnya timbul
paling cepat satu minggu setelah terinfeksi. Jika tanaman dapat terhindar dari
infeksi sampai umur dua bulan, maka selanjutnya penyakit tungro kurang
mengakibatkan kerusakan dan kehilangan hasil. Sedangkan derajat perubahan warna
daun sangat bergantung pada varietas padi yang diserang dan faktor lingkungan.
Pada varietas tertentu sering gejala tungro menghilang setelah beberapa lama
dan muncul kembali pada anakan atau turiang.
Cara Mengidentifikasi
Untuk mengidentifikasi secara cepat tanaman terinfeksi
virus tungro dapat dilakukan dengan cara (a) Pengamatan secara visual, (b) Uji
penularan, (c) uji iodium, (d) Uji enzyme-linked immunosorbent assays (ELISA),
dan (e) Uji PCR (Polymerase Chain Reaction).
Pengamatan visual
Serangan penyakit tungro di lapangan dapat diketahui
secara cepat dengan cara mengamati gejala yang khas yaitu tersebar secara
sporadis dan mengelompok. Gejala penyakit tungro dapat dibedakan dengan tanaman
yang kekurangan atau keracunan unsur hara tertentu. Tanaman yang terserang
tungro gejalanya lebih merata hampir pada seluruh areal pertanaman. Tinggi
tanaman yang sakit lebih pendek dari yang sehat, sehingga hamparan tanaman
terlihat bergelombang. Apabila ditemukan gejala serangan sporadik dan hamparan
tanaman bergelombang, maka hal ini merupakan indikasi tanaman terserang
penyakit tungro.
Uji penularan:
• Siapkan pot berisi tanah.
• Semaikan sejumlah benih varietas rentan pada pot
tersebut.
• Sungkupkan kurungan kain kasa yang tidak bisa
diterobos wereng hijau.
• Setelah tanaman berumur 7 hari masukkan wereng hijau
dari daerah yang diduga terserang patogen tungro. Tiap tanaman dilepaskan
5 serangga dewasa.
• Biarkan wereng hijau selama 2 hari berada di dalam
kurungan.
• Dua minggu setelah itu amati apakah tanaman
menunjukkan gejala seperti di lapangan. Bila terlihat gejala yang sama, berarti
daerah asal wereng tersebut memang terserang virus tungro.
• Untuk menghindari kesalahan pengamatan atau
identifikasi diperlukan tanaman pembanding atau kontrol.
Uji iodium
• Daun tanaman sakit dipotong sepanjang 10 - 15
cm.
• Klorofil pada daun dihilangkan dengan cara merebus
potongan daun dalam cairan alkohol 96% selama 30 menit, atau dengan merendam
daun dalam alkohol 96% selama 24 jam.
• Potongan daun kemudian direndam dalam larutan iodium
selama 10 menit.
• Cuci dengan alkohol 96% untuk menghilangkan sisa
larutan iodium pada daun.
• Apabila warna potongan daun berubah menjadi biru
berarti contoh tanaman tadi positif ditulari virus.
• Dalam keadaan tertentu dapat dilakukan dengan
mencelupkan ujung potongan daun ke dalam iodium
Uji enzyme-linked immunosorbent assays (ELISA)
Uji ELISA sebagai salah satu metode serologi sering
digunakan untuk mendeteksi virus tungro karena mudah dilakukan, cepat,
sensitif, akurat dan dapat digunakan untuk menguji sampel dalam jumlah besar.
Metode tersebut didasarkan pada konjugasi antara virus - antibodi dan enzim
dengan menambahkan substrat pewarna, maka dapat diperlihatkan adanya konjugasi
tersebut.
Dalam uji ELISA ada beberapa cara yang digunakan yaitu
indirect ELISA, double antibody sandwich ELISA (OAS ELISA), OAS-ELISA protocol,
F (ab')2 indirect ELISA dan F (ab')2 ELISA protocol. Namun, yang banyak
digunakan Metode indirect ELISA dan double antibody sandwich ELISA (OAS-ELlSA).
Dalam indirect ELISA uji didasarkan adanya ikatan enzim dengan molekul antibodi
yang dapat dideteksi oleh antiviral immunoglobulin. Sedangkan pada OAS-ELlSA,
virus diikat oleh antibodi spesifik yang kemudian bereaksi lagi dengan antibodi
spesifik yang telah diikat oleh enzim. Dari segi praktek, indirect ELISA lebih
sederhana dan lebih cepat karena tidak melalui prosedur pemurnian virus,
mempersiapkan stok gamma-globulin (lg8), dan melakukan konjugasi
enzim-immunoglobulin.
Uji PCR (Polymerase Chain Reaction)
PCR merupakan teknik laboratorium yang dapat
menggandakan asam nukleat (DNA) virus dalam mesin pengganda DNA. Virus tungro
batang ataupun virus tungro bulat baik yang terdapat dalam contoh tanaman padi
atau dalam tubuh wereng hijau dapat dideteksi, walaupun kadarnya sangat kecil.
Dibandingkan dengan ELISA, PCR dapat 1000-10000 kali lebih akurat dan sensitif.
PCR meliputi tahap ekstraksi DNA dari contoh tanaman,
penggandaan DNA dengan menggunakan primer khusus. Visualisasi hasil penggandaan
DNA dalam gel agarose melalui cara elektroforesis, terakhir gel tersebut
diwarnai (staining) dengan ethidium bromida, sehingga pita-pita DNA virus dapat
diamati dengan jelas. Contoh tanaman yang tidak terinfeksi virus, tidak ada
pita DNA.
PENYEBAB PENYAKIT
Tungro disebabkan oleh virus yang mempunyai dua macam
zarah partikel, yaitu yang berbentuk bulat (rice tungro spherical virus - RTSV)
dengan garis tengah 30 nano meter dan berbentuk batang (rice tungro bacilliform
virus: RTBV) seperti bakteri dengan ukuran (150 - 350) x 35 nano meter.
Gejala penyakit tungro yang berat disebabkan oleh
kompleks dua jenis virus berbentuk batang dan bulat, sedangkan infeksi salah
satu jenis virus menyebabkan gejala ringan atau tidak jelas bergantung pada
partikel yang menginfeksi.
Virus tidak ditularkan melalui telur serangga dan juga
tidak dapat ditularkan melalui biji, tanah, air dan secara mekanis (misal
pergesekan antara bagian tanaman yang sakit dengan yang sehat). Nimfa wereng
hijau juga dapat menularkan virus, tetapi menjadi tidak infektif setelah ganti
kulit.
Virus tungro tidak memberikan pengaruh negatif kepada
vektor. Apabila inokulum virus sudah ada di lapang, keberadaan tungro
dipengaruhi oleh fluktuasi vektor. Dengan demikian dinamika populasi vektor
penting dipahami untuk menyusun strategi pengendalian penyakit tungro.
PENULAR PENYAKIT (VEKTOR)
Kedua jenis virus umumnya terdapat pada jaringan
floem. Kedua partikel ditularkan oleh wereng hijau secara semi-persisten.
Wereng hijau species N. virescens adalah vektor yang paling efisien menularkan
kedua jenis virus penyebab penyakit tungro. Dilaporkan bahwa wereng hijau dapat
memindahkan RTSV dari tanaman padi yang hanya terinfeksi RTSV, tetapi tidak
mampu memindahkan RTBV dari tanaman yang hanya terinfeksi RTBV. RTBV dapat
dipindahkan oleh wereng hijau yang telah terinfeksi RTSV. Dengan demikian RTBV
merupakan virus dependent, sedangkan RTSV berfungsi sebagai pembantu (helper).
Kedua partikel virus bersifat non-circulative, yaitu
dalam tubuh vektor virus tidak dapat ditularkan dari imago ke telur maupun
antar perubahan stadia perkembangan. Serangga yang telah mendapatkan virus
segera dapat menularkannya sampai virus yang diperoleh habis, sehingga
kehilangan kemampuan menularkan virus. Masa terpanjang vektor mampu menularkan
virus adalah 6 hari. Lama waktu yang dibutuhkan serangga untuk memperoleh virus
antara 5-30 menit, sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk menularkan virus juga
singkat antara 7-30 menit. Periode inkubasi virus dalam tanaman antara 6-15
hari.
TANAMAN INANG
Tanaman inang tungro selain padi adalah rumput
belulang (Eleusine indica), rumput bebek atau tuton (Echinochloa colonum),
jajago¬an (Echinochloa crusgali), juhun randan (Ischaemum rugosum), tapak jalak
atau rumput katelan (Dactyloctenium aegyptium), rumput asinan (Paspalum
distichum) dan padi liar.
N. virescens hanya dapat berkembang dengan baik dan
menjadi penular yang efisien pada padi. N. nigropictus dapat berkembang pada
padi maupun rerumputan, meskipun berkembang dengan baik pada rerumputan. N.
nigropictus dapat menularkan virus dari rerumputan ke tanaman padi.
EPIDEMIOLOGI
Perkembangan RTSV dan RTBV pada tanaman padi maupun
wereng hijau yang dilaporkan oleh Hasanuddin et al. (1999) sebagai berikut.
Tanaman padi terinfeksi RTSV terdeteksi lebih awal dari RTBV. Tanaman
terinfeksi RTSV terdeteksi sejak tanaman umur 2 minggu setelah tanam (MST).
Tingkat tanaman terinfeksi pada saat awal hanya 10% dan meningkat sampai 80%
saat tanaman umur 6 MST. Tanaman terinfeksi RTBV pada tanaman baru terdeteksi
saat tanaman umur 4 MST. Gejala visual infeksi tungro telah jelas terlihat pada
saat kedua virus telah terdeteksi. Perkembangan komposisi virus seperti itu
juga terjadi di Filipina. Wereng hijau terinfeksi RTSV telah terdeteksi sejak
tanaman umur 3MST. Dengan demikian diketahui sejak awal wereng hijau migran
membawa RTSV yang dapat membantu penyebaran RTBV.
Infeksi tungro dapat terjadi mulai di persemaian. Pada
stadium ini tanaman sangat sensitif terhadap in¬feksi virus. Apabila infeksi
terjadi pada stadium persemai¬an maka gejala tungro akan tampak pada tanaman
umur 2 - 3 minggu setelah tanam. Tanaman muda yang ter¬infeksi merupakan sumber
inokulum utama setelah padi ditanam di lapangan.
Selama satu periode pertumbuhan tanaman padi terjadi 2
puncak tambah tanaman terinfeksi yaitu pada saat 4 minggu setelah tanam (MST)
dan 8 MST. Puncak infeksi pertama disebabkan oleh serangga imigran pada 2 MST,
sedangkan puncak infeksi kedua disebabkan infeksi yang terjadi saat 6 MST oleh
keturunan serangga migran.
DINAMIKA POPULASI WERENG HIJAU
Saat ini N. virescens mendominasi komposisi spesies
wereng hijau di Pulau Jawa dan Bali. N. nigropictus terutama pada musim hujan
kadang-kadang mendominasi komposisi spesies wereng hijau di Kalimantan Selatan
dan pada beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan ada kecenderungan pergeseran
dominasi N. virescens ke N. nigropictus.
Dalam satu musim tanam, N. virescens yaitu wereng
hijau yang paling dominan dan efisien menularkan virus tungro umumnya melewati
tiga generasi.
Pada pola I peningkatan kepadatan populasi terjadi
terus menerus dari G0 sampai G2, pola II dicirikan oleh peningkatan kepadatan
populasi hanya sekali dari G0 ke G1, sedangkan pada pola II dari sejak G0
kepadatan populasi tidak meningkat sama sekali (54). Pada pola tanam
padi-padi-padi pertumbuhan kepadatan populasi sebagian besar (45%) mengikuti
pola II, sedangkan pada pola tanam padi-bera-padi/padi-palawija-padi sebagian
besar (54,4%) mengikuti pola III. Dengan demikian pada pola padi-padi-padi pada
sebagian besar kasus populasi wereng hijau dapat berkembang sampai pertengahan
pertumbuhan tanaman, sedangkan pada pola tanam padi-bera-padi/padi-palawija-padi
dari sebagian besar kasus populasi wereng hijau tidak berkembang sama sekali.
Hasil analisis dengan menggunakan analisis faktor
kunci (key-factor analysis) diketahui bahwa kematian pada periode nimfa
termasuk pemencaran imago menjadi faktor kematian kunci untuk populasi wereng
hijau pada pola padi-padi-padi maupun padi-padi-bera/palawija. Dengan
menggunakan analisis tanggap bilangan (numerical respond analysis) diketahui,
pada pola tanam padi-padi-padi tidak ditemukan adanya tanggap bilangan antara
kematian nimfa dengan kepadatan populasi pemangsa, tetapi tanggap bilangan
ditemukan pada pola tanam padi-padi-bera/palawija. Hal tersebut menunjukkan
adanya perbedaan faktor yang mempengaruhi perkembangan populasi wereng hijau
antara kedua pola tanam tersebut. Pemencaran imago (dispersal) berperan pada
pola padi-padi-padi terutama yang tidak serempak tanam, sedangkan pada pola
padi-padi-bera/palawija faktor penyebab kematian (mortality) berperan penting.
Implikasi dari pemahaman tersebut terhadap strategi
pengendalian tungro adalah pada daerah pola tanam padi-padi-padi, dapat
dilakukan dengan mengurangi kemampuan pemerolehan dan penularan virus oleh
wereng hijau sebagai komponen utama pengendalian. Sedangkan pola tanam
padi-padi-palawija/bera peran faktor penyebab kematian wereng hijau seperti
predator, parasit serta patogen khususnya jenis jamur (jamur entomopatogen)
penting dan perlu ditingkatkan perannya guna menekan kepadatan populasi wereng
hijau sebagai penyebar penyakit tungro.
CARA PENGENDALIAN
Pengendalian penyakit tungro dilakukan dengan
mengintegrasikan komponen-komponen pengendalian dalam satu sistem yang dikenal
dengan konsep pengendalian penyakit secara terpadu. Usaha tersebut meliputi
cara bercocok tanam, waktu tanam, menanam varietas tahan, menghilangkan atau
mengurangi sumber virus (eradikasi), dan menggunakan pestisida bila diperlukan.
Di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, usaha pengendalian penyakit virus
tungro dilakukan dengan mengatur waktu tanam yang tepat pada musim hujan dan
musim kering, mengadakan rotasi varietas yang memiliki gen tahan wereng dan
menggunakan insektisida.
Tanam serempak
Tanam serempak dapat memperpendek waktu keberadaan
sumber inokulum atau waktu perkembangbiakan. Tanam serempak mengurangi sumber tanaman
sakit dan membatasi waktu berkembang biak vektor penular patogen. Untuk
mengurangi serangan penyakit tungro, tanaman serempak dianjurkan minimal luasan
20 ha berdasarkan gradasi penyebaran penyakit (disease gradient) dari satu
sumber inokulum.
Waktu tanam tepat
Tanam pada saat yang tepat dimaksudkan untuk membuat
tanaman terhindar dari serangan pada saat tanaman peka. Waktu tanam tepat
digunakan untuk mengendalikan penyakit tungro. Tanaman padi diketahui peka
terhadap infeksi virus tungro saat tanaman berumur kurang dari satu bulan
setelah tanam. Dengan mengamati pola fluktuasi populasi wereng hijau dan
intensitas serangan tungro sepanjang tahun, akan diketahui saat-saat ancaman
paling serius oleh penyakit tungro. Waktu tanam diatur sehingga pada saat
ancaman tungro serius, tanaman sudah berumur lebih dari 1 bulan setelah tanam.
Waktu tanam tepat hanya efektif mengendalikan penyakit tungro di daerah dengan
pola tanam serempak. Waktu tanam serempak berhasil mengendalikan luas serangan
tungro di Sulawesi Selatan, namun sulit diterapkan pada daerah yang tanam
padinya tidak serempak seperti di Bali. Waktu tanam yang tepat dapat
menghindarkan tanaman dari serangban wereng maupun infeksi virus tungro. Di
Maros, penanaman padi pada awal musim hujan (Desember-Januari) atau musim
kemarau (Juni-Juli) dapat terhindar dari serangan wereng dan tungro yang
serius.
Waktu tanam yang tepat pada suatu wilayah dapat
ditentukan berdasarkan pola curah hujan yang berhubungan dengan perkembangan
populasi wereng hijau di suatu wilayah. Puncak populasi wereng hijau terjadi
pada 1,5 – 2 bulan setelah curah hujan mencapai puncaknya. Pada saat populasi
wereng hijau mencapai puncaknya, tanaman padi yang masih muda atau berumur 21 –
35 hari setelah tanam, sangat peka terserang tungro. Dengan demikian, waktu
tanam yang tepat adalah 30 – 45 hari sebelum puncak curah hujan atau pada saat
curah hujan mencapai puncaknya.
Pada waktu tanam yang tepat tersebut, semua jenis
varietas padi dapat ditanam. Jika petani tidak dapat menerapkan waktu tanam
yang tepat, maka dianjurkan untuk menanam varietas padi yang tahan tungro atau
menggunakan pestisida yang telah dianjurkan.
Varietas tahan
Varietas tahan penyakit tungro diklasifikasikan tahan
terhadap wereng hijau sebagai penular (vektor) patogen dan tahan terhadap virus
yang merupakan patogen penyebab penyakit tungro.
Varietas tahan wereng hijau dikelompokkan berdarkan
sumber gen tetua tahannya menjadi golongan T1, T2, T3, dan T4 (Tabel 1).
Anjuran penggunaan varietas tahan wereng hijau adalah (1) di Jawa Barat dapat
ditanam varietas tahan golongan T1, T2, dan T4, (2) Jawa Tengah dapat menanam
semua golongan varietas tahan, (3) Yogyakarta dianjurkan menanam varietas tahan
dari golongan T2 dan T4, (4) Jawa Timur dan Bali hanya dianjurkan menanam
varietas tahan golongan T4, dan (5) NTB dianjurkan menanam varietas tahan
virus.
Varietas tahan virus tungro yang telah dilepas antara
lain Tukad Petanu, Tukad Unda, Tukad Balian, Kalimas, dan Bondoyudo yang sesuai
di setiap daerah (Tabel 2). Varietas Tukad Petanu dapat dianjurkan untuk
ditanam di seluruh daerah endemis, sedangkan Tukad Unda dianjurkan ditanam di
NTB dan di Sulawesi Selatan. Di derah Bali dan Sulawesi Selatan dianjurkan
menanam varietas Tukad Balian dan Bondoyudo. Varietas Kalimas dan Bondoyudo
diketahui tahan di Jawa Timur.
Tabur benih langsung
Cara tanam padi dengan tabela, lahan dibersihkan dan
diratakan terlebih dahulu sebelum benih ditabur, sehingga inokulum tungro
khususnya telah berkurang pada awal pertumbuhan tanaman. Tabela akan lebih
efektif mengurangi serangan tungro bila dilakukan serempak minimal 20 ha.
Tabela yang dilakukan tidak serentak sehamparan akan menjadikan tanaman padi
yang tanam paling lambat mendapat akumulasi vektor maupun inokulum tungro. Di
beberapa daerah di Sulawesi Selatan telah mempraktekkan tabela, namun karena
waktu tabur yang tidak bersamaan, serangan tungro tetap meluas.
Tanam jajar legowo
Tanam jajar legowo menyebabkan kondisi iklim mikro
dibawah kanopi tanaman kurang mendukung perkembangan patogen. Pada tanaman padi
dengan sebaran ruang legowo, wereng hijau kurang aktif berpindah antar-rumpun,
sehingga penyebaran tungro terbatas.
Pengairan
Pengeringan sawah dapat meningkatkan kematian nimfa
wereng coklat. Akan tetapi bila tanaman padi terserang penyakit tungro,
pengeringan sawah akan mendorong wereng hijau untuk berpindah tempat.
Pengeringan sawah yang terkena tungro justru akan mempercepat penyebaran
penyakit ini.
Patogen
Patogen menginfeksi serangga (entomopathogent)
sehingga menyebabkan kematian pada serangga. Patogen serangga ada 3 jenis yaitu
jamur, bakteri, dan virus. Patogen dari jenis jamur yang telah dikembangkan
untuk mengendalikan wereng coklat, wereng hijau serta lembing batu adalah
Metarhizium dan Beuveria. Jamur entomopatogen menekan penyakit tungro dengan
triple actions melalui penekanan kemampuan pemencaran wereng, secara langsung
dapat mematikan dan secara tidak langsung dengan pengurangan keperidian betina.
Predator
Mematikan serangga dengan cara memakan (menggigit-mengunyah)
misalnya dari jenis laba-laba maupun dengan cara mengisap sperti dari jenis
kepik. Jenis predator yang diandalkan untuk mengendalikan wereng hijau adalah
jenis laba-laba (Lycosa), kepik (Cyrtorhinus, Microvelia). Laba-laba sulit
dibiakkan massal karena sifatnya yang kanibal. Predator dari jenis kepik dapat
diperbanyak dengan cara yang lebih mudah dibandingkan dengan jenis laba-laba,
sehingga dapat dilepas dengan teknik inudasi. Walaupun demikian banyak yang
menyarakan untuk melakukan konservasi, bila ingin meningkatkan peran predator.
Konservasi dapat dilakukan dengan melakukan rotasi padi dengan palawija,
menaruh mulsa jerami pada pematang atau membersihkan pematang setelah tanaman
umur 1 bulan atau secara selektif bagi gulma yang berfungsi sebagai inang
alternatif saja.
Pestisida
Penyemprotan pestisida dapat menekan populasi wereng
hijau yang berarti akan mengurangi kecepatan penyebaran virus. Pestisida yang
dapat digunakan untuk mengendalikan wereng hijau ada yang dari jenis nabati dan
an-organik Bahan kimia yang dapat membunuh serangga yang diperoleh dari ekstrak
tanaman seperti tembakau, akar tuba merupakan bahan yang sudah dikenal sejak
lama sebagai pembunuh serangga. Tanaman yang digunakan untuk mengendalikan
wereng hijau (insektisida nabati misalnya nimba dan sambilata).
Penggunaan insektisida anorganik sebaiknya berdasarkan
pengamatan. Deteksi ancaman penyakit tungro dapat dilakukan pada waktu
pesemaian dan saat tanaman umur 3 minggu setelah tanam. Pemantauan wereng hijau
di pesemaian dilakukan dengan jaring serangga sebanyak 10 ayunan untuk
mengevaluasi kerapatan populasi wereng hijau. Di samping itu juga perlu
dilakukan uji yodium untuk mengetahui intensitas tungro pada 20 daun padi 15
hari setelah sebar. Jika hasil perkalian antara jumlah wereng hijau dan
persentase daun terinfeksi sama atau lebih dari 75, maka pertanaman terancam
tungro. Di pertanaman aplikasi insektisida dilakukan apabila terdapat lima
gejala penularan tungro dari 10.000 rumpun tanaman saat berumur 2 MST atau satu
gejala tungro dari 1.000 rumpun tanaman saat berumur 3 MST. Insektisida yang
dapat digunakan antara lain adalah imidacloprid, tiametoksan etofenproks, dan
karbofuran.
Pergiliran varietas
Untuk memperpanjang masa ketahanan varietas terhadap
vektor maupun virusnya, dianjurkan untuk melakukan pergiliran varietas guna
mengurangi tekanan seleksi. Varietas tahan wereng hijau dikelompokkan
berdasarkan sumber tetua tahan. Pergiliran varietas dilakukan antar-musim
tanam.
Sanitasi
Gulma, singgang, ceceran gabah saat panen yang tumbuh
(voluntir) dapat menjadi inang serangga maupun patogen pada saat tanaman padi
tidak ada di pertanaman. Wereng hijau hanya dapat berkembang pada tanaman padi,
singgang, dan voluntir. Wereng hijau spesies N. virescens yang paling efisien
sebagai vektor tungro hanya dapat melengkapi siklus hidupnya dengan baik hanya
pada tanaman padi. Sedangkan wereng hijau spesies lainnya seperti N.
nigropictus dan N. malayanus lebih baik perkembangannya pada gulma. Virus
tungro di samping dapat menginfeksi padi, juga bisa ditularkan oleh wereng
hijau kepada gulma. Keberadaan ketiga wereng hijau tersebut dan gulma
menyebabkan penyakit tungro endemis di lokasi tersebut. Pada saat tidak ada
tanaman padi, singgang atau voluntir, virus tungro bertahan pada gulma. Wereng
N. nigropictus dan N. malayanus menularkan virus pada gulma dan pada saat mulai
ada tanaman padi menularkannya ke tanaman padi. Virus pada tanaman padi
disebarkan kembali oleh N. virescens sehingga penyakit tungro dapat bertahan
terus. Menghilangkan gulma, singgang dan voluntir akan mengurangi sumber
inokulum pada awal pertumbuhan tanaman. Disarankan petani membuat pesemaian
setelah lahan dibersihkan atau tanam padi dengan cara tabur benih langsung
(tabela). Pada cara tanam padi dengan tabela, lahan dibersihkan dan diratakan
terlebih dahulu sebelum benih ditabur. Dengan demikan inokulum tungro khususnya
telah berkurang pada awal pertumbuhan tanaman. Tabela akan lebih efektif
mengurangi serangan tungro bila dilakukan serempak minimal 20 ha. Tabela yang dilakukan
tidak serentak sehamparan akan menjadikan tanaman padi yang tanam paling lambat
mendapat akumulasi vektor maupun inokulum tungro. Di beberapa daerah di
Sulawesi Selatan telah mempraktekkan tabela, namun karena waktu tabur yang
tidak bersamaan, serangan tungro tetap meluas.
sumber :
- Petunjuk Teknis Pengendalian Penyakit Tungro Terpadu (Bagian 1), Sumber: Sunihardi, Puslitbangtan, Tgl Publis: 20-11-2007, Penyusun: M.Yasin Said, I Nyoman Widiarta, M.M, http://pangan.litbang.deptan.go.id/index.php?bawaan=berita/fullteks_berita&&id_menu=3&id_submenu=3&id=74
0 komentar:
Post a Comment
Terima kasih atas kujungan anda. Komentar anda akan sangat bermanfaat untuk kemajuan blog ini.