KEMASAMAN TANAH DAN PENGAPURAN

Written By Unknown on 12/04/2013 | 3:20 pm

Kemasaman Tanah


Kemasaman tanah disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: bahan induk tanah yang bereaksi masam, tingkat pelapukan, curah hujan, dan intensitas pengunaan lahan. Makin tinggi tingkat pelapukan, makin tinggi curah hujan dan makin intensif penggunaan lahan pertanian, maka makin besar kemungkinan berkembangnya tanah-tanah masam. Curah hujan yang melebihi evapotraanspirasi mempunyai kemampuan bagi terjadinya perkolasi air ke dalam lapisan tanah yang lebih dalam, sehingga terjadi pencucian kation-kation basa (alkali dan lakali tanah seperti kalium, natrium, kalsium, dan magnesium). Tercucinya kation-kation basa dari kompleks jerapan menyebabkan kation-kation H+ dan Al3+ menjadi dominan, sehingga tanah menjadi masam. Dahulu orang beranggapan bahwa keamsaman tanah semata-mata disebabkan oleh ion H+, kemudian terbukti selain ion H+ tersebut, kemasaman tanah disebabkan oleh oleh aktivitas ion Al3+.
Reaksi hidrolisis Al3+ menghasilkanion H+ adalah sebagai berikut:
Al3+ + H2O < ------ > Al(OH)2+ + H+
Al(OH)2+ + H2O < ------ > Al(OH)2+ + H+
Al(OH)2+ + H20 < ------ > Al(OH)3 + H+ (Tisdale & Nelson, 1975).
Oleh karena itu berdasarkan reaksi di atas, Al dapat ditukar (Al dd.) tanah merupakan indikator kemasaman tanah.
Kegiatan biologi (tanaman dan mikroorgansime tanah) pada lapisan olah tanah dalam budidaya tanaman, juga dapat menghasilkan ion-ion H+ yang dapat menyebabkan tanah menjadi makin masam. Kemasaman tanah pada lapisan permukaan oleh kegiatan biologis dan kegiatan pemupukan (seperti nitrifikasi N, oksidasi S dan sebagainya). Kation-kation dalam larutan akan bergerak ke bawah dalam profil tanah, yang sekaligus dapat mengangkut anion-anion yang mudah larut, seperti NO3-, SO4=, Cl-, dan sebagainya. Ketidaksuburan tanah masam daerah tropis, atau rendahnya produktivitas tanah masam daerah tropis, pada umumnya di samping oleh faktor kemasaman tanah juga disebabkan karena P rendah dan daya fiksasi fosfor yang tinggi, kemudian daya keracunan oleh ion Fe dan Al yang tinggi, KTK rendah, kejenuhan basa (terutama Ca dan Mg) yang rendah, dan hasil pelapukan bahan organik tercuci. Keracunan tanaman oleh ion Al merupakan penyebab utama ketidaksuburan tanah-tanah masam. Proses seleksi alam telah menghasilkan jenis-jenis dan varietas-varietas tanaman yang mempunyai toleransi genetis yang tinggi terhadap ketidaksuburan tanah masam. Jenis (varietas) tanaman yang berkembang pada tanah masamdan miskin akan basa-basa, pada umumnya lebih toleran terhadap kandungan Al dan Mn yang tinggi, disbanding dengan jenis (varietas) tanaman yang berkembang pada tanah-tanah alkalis atau netral. Spesies-spesies Rhizobia yang memfiksasi N, kurang lebih juga akan mengikuti pola seleksi alam yang serupa.
KTK tanah yang rendah disebabkan tercucinya kation-kation basa pada kompleks jerapan oleh air perkolasi, kemudian kompleks jerapan ditempati oleh ion Al, Mn, Fe, dan H. Sebagaimana kita ketahui bahwa sebagian besar tanah-tanah masam didominasi oleh Podsolik yang penyebarannya sangat luas di luar Jawa (kurang lebih meliputi luasan 27 juta hektar).
Dalam pengelolaan tanah, reaksi tanah yang ditunjukkan oleh tingkat kemasaman atau pH sangat menentukan keberhasilan budidaya tanaman pertanian. Ketersediaan hara tanaman erat kaitannya dengan kemasaman tanah (pH). Umumnya tanaman memerlukan kisaran pH 6,0 – 7,0. Banyaknya kation yang teradsorpsi akan mengendalikan persentase kejenuhan basa dan dengan demikian secara tidak langsung menentukan konsentrasi ion H+ larutan tanah. Karena itu kenaikan pH dapat dicapai dengan menambahkan sejumlah ion basa yang lazim digunakan, yaitu kalsium dan magnesium.
Pengapuran
Kalsium dan magnesium mudah diperoleh dan tersedia dalam jumlah banyak, serta berpengaruh baik terhadap keadaan fisik tanah. Oksida, karbonat, dan hidroksidanya termasuk lemah dibandingkan dengan alkali lainnya (Na dan K).
Di dalam tanah yang lembab (udik) atau mengalami jenuh air (akuik), kandungan Ca dan Mg relatif sangat kecil sekali dibandingkan dengan ion H dan Al yang biasanya menguasai kompleks koloid. Oleh karena itu tanah-tanah demikian bereaksi masam, dan sudah sewajarnya membutuhkan penambahan kation-kation basa. Selain untuk mening-katkan jumlah kation basa juga mempunyai efek terhadap peningkatan pH atau menurun-kan tingkat kemasaman tanah.
Untuk menghindari efek yang kurang baik, tidaklah tepat menggunakan bahan kapur (Ca dan Mg) dari senyawa oksida asam, seperti CaSO4 atau MgSO4. Karena kalsium dan magnesium sulfat tersebut akan meningkatkan ion H dan oksida asam sulfat dalam larutan tanah. Jadi meskipun jumlah ion kalsium dan magnesium meningkat, namun kemasaman tanah tidak berkurang bahkan bertambah masam. Reaksi yang terjadi sebagai berikut:
H
Misel + CaSO4 < == > Ca = Misel + 2H+ + SO4=
H
Pada tanah bereaksi netral dapat digunakan kalsium dan magnesium sulfat, karena diperlukan banyak Ca dan Mg tetapi tidak menaikkan pH tanah. Dalam parkteknya di lapangan senyawa magnesium karbonat, oksida atau hidroksidanya jarang dipergunakan. Karena selain efeknya lebih rendah dibandingkan dengan Ca, juga deposit magnesium karbonat, oksida atau hidroksidanya sangat kecil dan sukar diperoleh.
Lazimnya senyawa kalsium dan magnesium karbonat terdapat sebagai deposit dolomit yang perbandingan Ca-karbonat dan Mg-karbonatnya bervariasi sekali. Karena CaCO3 dan dolomit banyak digunakan di sektor pertanian maka bahan tersebut disebut sebagai kapur pertanian. Dua senyawa ini memberikan keuntungan, dan tidak meninggal-kan efek yang merugikan dalam tanah. Reaksi langsung antara CaCO3 dan CaO dengan sumber asam tanah, secara sederhana dapat ditunjukkan sebagai berikut:
H
Misel + CaCO3 <===> Ca=Misel + CO2 + H2O
H
H
Misel + CaO <===> Ca=Misel + H2O

H

Kalau kedua reaksi itu bergeser ke kanan, akan terjadi netralisasi atau peniadaan ion H dan peningkatan kalsium dapat ditukar (Ca d.d.). Hal ini mengakibatkan peningkatan persentase kejenuhan basa sejalan dengan peningkatan pH larutan tanah. Deposit kapur di lapangan tidaklah murni, namun terdapat oksida atau hidroksida dari senyawa lain, seperti zeolit, dolomit, dan kalsium silikat.
Bahan kapur yang lazim digunakan umumnya adalah batu kapur (kalsit dan dolomit), kapur bakar (CaO), dan kapur hidrat atau kapur mati (Ca(OH)2). Kapur bakar dibuat dari kalsit dan dolomit yang dibakar, dengan reaksi sebagai berikut:
CaCO3 + Panas Api --à CaO + CO2
CaCO3.MgCO3 + Panas Api -à CaO + MgO + 2CO2
Kapur bakar ini sangat peka terhadap kelembaban dan cepat berubah menjadi Ca(OH)2.
Kapur hidroksida berasal dari kapur bakar yang ditambahkan air sehingga menjadi kapur mati atau kapur hidrat (meskipun tidak tepat).
CaO + MgO + 2H2O à Ca(OH)2 + Mg(OH)2
Hidroksida kapur di pasaran berupa bubuk putih sangat kaustik dan kurang menyenangkan untuk digunakan. Kapur hidroksida ini apabila dibiarkan akan kembali menjadi kapur karbonat karena kelembaban tinggi dan karung terbuka menyebabkan terjadinya kontak dengan uap air dan CO2.
Ca(OH)2 + CO2 à CaCO3 + H2O
Mg(OH)2 + CO2 à MgCO3 + H2O
Bubuk kapur yang paling umum diperdagangkan bagi pertanian adalah bubuk batu kapur. Bubuk batu kapur ini terdiri dari berbagai sumber, seperti kapur karang, napal dan deposit karbonat. Deposit karbonat umumnya terdiri dari dolomit (kalsium karbonat dan magnesium karbonat dalam perbandingan yang berbeda-berda) atau hanya deposit kalsium karbonat.
Perdagangan kapur pertanian di negara kita belum dikenal petani dan penggunaan secara kontinu masih sangat terbatas pada perusahaan-perusahaan perkebunan besar. Pernah ada kebijakan pemerintah mengenai pemberian kapur pertanian dikaitkan dengan paket pupuk dan program pembukaan daerah pertanian baru dalam program pemukiman transmigrasi, yaitu antara tahun 1984 – 1989. Namun setelah itu tidak terdengar lagi.
Jaminan kapur pertanian didasarkan pada hal-hal:
(1) kadar oksida yang biasa berlaku,
(2) ekuivalensi kalsium oksida,
(3) daya menetralkan dan kandungan unsur Ca dan Mg,
(4) bentuk batu kapur dan kehalusannya, apakah serbuk kaustik atau butiran ukuran pasir,
(5) tingkat alkalinitas terhadap penetralan asam.
Efek pengapuran dalam pengelolaan tanah dapat dikatagorikan ke dalam tiga hal, yaitu : efek fisik, efek kimia, dan efek biologis. Pertama, pengaruh pengapuran terhadap fisik tanah. Dalam tanah yang bertekstur liat sampai liat berat ada kecenderungan penggabungan butir-butir halus semakin rapat (massif) dan kompak. Keadaan semacam ini menghambat gerakan air dan udara, karena itu sangat diperlukan pembutiran (granulasi) dan pembentukan struktur tanah yang mempunyai porositas tinggi. Struktur remah dibentuk antar butir tanah dengan meningkatkan efek biotik karena meningkatnya aktivitas biologi tanah. Hal ini akan meningkatkan dekomposisi bahan organik tanah dan sintesis humus. Pengapuran akan menstimulasi aktivitas mikroorganisme dan meningkat-kan dekomposisi bahan organik tanah yang sangat penting dalam pembentukan struktur remah.
Kedua, pengapuran pada tanah masam akan mengubah reaksi tanah dan mempunyai efek kimia yang sangat luas, yaitu:
1. Konsentrasi ion H+ menurun,
2. Konsentrasi ion OH- meningkat,
3. Kelarutan besi, aluminium dan mangan menurun,
4. Ketersediaan fosfat dan molibdat akan meningkat,
5. Kalsium dan magnesium dapat ditukar akan meningkat,
6. Persentase kejenuhan basa akan emningkat,
7. Ketersediaan kalium dapat meningkat atau menurun tergantung ion Ca dan Mg dalam larutan tanah.
Efek kimia yang paling umum dan langsung adalah penurunan kemasaman tanah
(kenaikan pH). Sedang efek tidak langsung adalah ketersediaan unsur hara dan mencegah keracunan unsur tertentu, seperti Mn, B, dan As. Pengapuran meningkatkan ketersediaan unsur hara fosfor, molidenium, kalsium dan magnesium untuk diserap oleh tanaman, bersamaan dengan itu konsentrasi besi, aluminum dan mangan sangat dikurangi.
Ketiga, kapur menstimulasi aktivitas mikroorganisme tanah heterotrofik, sehingga mempunyai efek biologis yang besar bagi proses biokimia tanah. Proses dekomposisi dan penyediaan unsur nitrogen meningkat. Stimulasi enzimatis meningkatkan pembentukan humus yang berperan penting dalam meningkatkan kapasitas tukar kation tanah. Bakteri simbiotik akan meningkat aktivitasnya berkenaan dengan adanya kenaikan pH dan pele-pasan nitrogen ke dalam tanah dari dekomposisi bahan organik.
Pengapuran yang berlebihan menyebabkan beberapa hal yang merugikan, antara lain :
1. Kekurangan besi, mangan, tembaga dan seng yang diperlukan dalam proses fisiologis tanaman.
2. Tersedianya fosfat dapat menjadi berkurang kembali karena terbentuknya kompleks kalsium fosfat tidak larut.
3. Absorpsi fosfor oleh tanaman dan metabolisme tanaman terganggu.
4. Pengambilan dan penggunaan boron dapat terhambat.
5. Perubahan pH yang melonjak dapat merugikan terhadap aktivitas mikroorganisme tanah, dan ketersediaan unsur hara yang tidak seimbang.
Oleh karena itu pemberian kapur harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. pH tanah yang diperlukan oleh tanaman. Setiap macam tanaman memerlukan pH yang relatif berbeda.
2. Bentuk kapur dan kehalusaannya. Sehingga dipertimbangkan beberapa hal yang sangat penting, yaitu:
(1) Jaminan kimia dari kapur yang bersangkutan.
(2) Harga tiap ton yang diberikan pada tanah.
(3) Kecepatan bereaksi dengan tanah.
(4) Kehalusan batu kapur.
(5) Penyimpanan, pendistribusian, penggunaan karung atau curahan.
3. Jumlah kapur yang diberikan harus ditetapkan berdasarkan perkiraan yang tepat berapa kenaikan pH yang diinginkan, tekstur, struktur dan kandungan bahan organik tanah lapisan olah. Tekstur tanah yang semakin berat akan memerlukan jumlah kapur yang semakin banyak. Struktur tanah lapisan olah yang dibentuk dengan pengolahan tanah tidak selalu seragam bagi masing-masing jenis tanah, ha ini juga mempengaruhi jumlah kapur yang diberikan. Makin halus butiran agregat tanah, makin banyak kapur yang dibutuhkan. Demikian pula pH, tekstur dan struktur lapisan bawah tanah (subsoil), karena pH yang rendah atau lebih tinggi dari pH lapisan olah menjadi pertimbangan berapa jumlah kapur yang harus diberikan.
4. Cara pemberian kapur. Biasanya pemberian kapur dilakukan 1 – 2 minggu sebelum tanam bersamaan dengan pengolahan kedua (penghalusan agregat tanah) sehingga tercampur merata pada separuh permukaan tanah olah. Kecuali pada tanah padang rumput yang tidak dilakukan pengolahan tanah diberikan di permukaan tanah olah. Pemberian kapur dengan alat penebar mekanik bermotor atau traktor akan lebih efektif dan efisien pada lahan pertanian yang luas.
5. Pengapuran harus disertai pemberian bahan organik tanah atau pengembalian sisa panen ke dalam tanah. Hal ini sangat penting untuk menghindari pemadatan tanah dan pencucian, serta meningkatkan efek pemupukan. Selain itu efek bahan organik terhadap pH tanah menyebabkan reaksi pertukaran ligand antara asam-asam organik dengan gugus hidroksil dari besi dan aluminium hidroksida yang membebaskan ion OH-. Di samping itu, elekrton yang berasal dari dekomposisi bahan organik dapat menetralkan sejumlah muatan positif yang ada dalam sistem kolid sehingga pH tanag meningkat (Hue, 1992; Yu, 1989).
Tabel 13. Bahan Kapur dan Nilai Netralisasinya (Sudjadi, 1984)
Bahan Nilai Netralisasi :
setara CaCO3 (%) Setara dengan 1 ton kapur
1. Kalsium karbonat (CaCO3) 100 909
2. Kapur tohor (CaO) 179 509
3. Kapur bangunan (Ca(OH)2) 134 677
4. MgCO3 119 761
5. Kapur dolomit (CaMg(CO3)2) 109 – 95 841- 955
6. Kulit kerang giling 88 – 80 1000 – 1136
7. Terak kalsium silikat 80 – 71 1136 - 1273
8. Mergel (batuan kapur dan tanah) 70 – 40 1273 – 2273
9. Abu kayu > 40 >2273
Beberapa pokok pendekatan yang harus diperhatikan dalam meningkatkan produktivitas tanah masam melalui pengapuran, terutama pada tanah Podsolik Merah Kuning atau Ultisols, adalah :
  1. Pemilihan jenis tanaman maupun varietas tanaman yang mempunyai toleransi tinggi terhadap ketidaksuburan tanah masam, mengingat bahwa di antara berbagai jenis tanaman maupun varietas, terdapat variasi yang besar mengenai toleransinya terhadap kemasaman dan keracunan Al.
  2. Terdapat kaitan yang erat antara pH tanah dengan Al-dd. maupun kejenuhan Al, sehingga satu atau kedua-duanya terutama Al-dd. dapat digunakan sebagai alat penduga yang efektif bagi penentuan kebutuhan kapur serta pengapuran.
  3. Pada kebanyakan tanah, Al-dd. turun dengan cepat bila pH tanah masam naik menjadi 5,5; sehingga peningkatan ph tanah dengan pengapuran sedapat mungkin tidak melebihi pH 5,5. Bagi jenis tanaman yang relatif peka terhadap keracunan Al, seperti kedelai sebaiknya dicarikan varietas yang agak toleran (pH kritis 5,5).
  4. Bagi varietas kedelai atau tanaman lain, seperti kapas, kentang, jagung dan sebagainya, yang mempunyai pH kritis 6,0; kalau mau dikembangkan dengan pengapuran, sebaiknya dikembangkan pada tanah yang mempunyai pH di atas 5,5 karena pengapuran tanah dengan pH 5,0 menjadi 6,0 kapasitas penyangga tanahnya terkecil, sehingga tidak terlalu banyak memerlukan kapur.
  5. Di samping pengapuran yang bertujuan menetralkan Al-dd. yang toksik bagi tanaman dan penambahan unsur Ca (mungkin juga Mg) yang berguna bagi tanaman, perlu disertai penambahan hara-hara lain yang kurang tersedia pada tanah, seperti P, K, dan N.
  6. Pengapuran pada dasarnya hanyalah diperlukan bagi pertanian lahan kering (upland), karena pada pertanian lahan sawah dengan adanya penggenangan pH tanahumumnya dapat meningkat.
  7. Karena kompleksnya sistem tanah dan eratnya Hubungan pH tanah dengan aspek-aspek lain dari tanah yang bersifat empiris, dengan landasan bahwa tanaman di lapang adalah sebagai integrator lingkungan hidup yang paling tepat, maka rekomendasi pengapuran lahan pertanian perlu didukung dengan pengujian-pengujian yang cukup (di samping oleh pH dan Al-dd., pengapuran sedikit banyak dipengaruhi oleh KTK, KB, mineral, tekstur, dan bahan organik tanah, dsb.).
  8. Pengapuran perlu diintegrasikan dengan pemberian bahan organik dan pemilihan varietas untuk penurunan dosis kapur dan peningkatan produktivitas lahan dengan efektif.
Cara menentukan kebutuhan kapur dan dosis pengapuran, bervariasi dari cara yang sederhana sampai pengukuran laboratories yang teliti bagi pH, Al-dd., kejenuhan Al, KTK, KB, minelat liat, dan sebagainya. Cara praktis yang umum digunakan adalah cara laboratories yang dikaitkan dengan pH atau kandungan Al-dd., atau dengan kedua-duanya, seperti metoda Tisdale & Neslon (1975) dengan penggunaan buffer pH 7,0 atau metoda Kamprath (1970) dengan pemberian kapur didasarkan pada kandungan Al-dd. dengan dosis 1,0 –1,5 Al-dd., atau metode lainnya.

Ditulis Oleh : Unknown ~Balconystair

Muh.Akram Anda sedang membaca artikel berjudul KEMASAMAN TANAH DAN PENGAPURAN yang ditulis oleh Balconystair Jika Anda menyukai artikel ini, silakan klik like atau tombol g+, Anda diperbolehkan mengcopy paste artikel ini dengan catatan mencantumkan sumbernya. Terima Kasih dan sering-sering mampir, ya.. :) Salam Blogger!!

Blog, Updated at: 3:20 pm

0 komentar:

Post a Comment

Terima kasih atas kujungan anda. Komentar anda akan sangat bermanfaat untuk kemajuan blog ini.

Powered by Blogger.